Sebelum banyak membaca soal sejarah panjang umat Islam dari masa ke masa, dan lahirnya berbagai disiplin ilmu pasca diturunkannya al Quran, saya termasuk yang ikut-ikutan bicara fikih dengan modal hadits shahih. Gampangannya begini, kalau haditsnya shahih maka hukum fikihnya begini. Kalau haditsnya nggak shahih, hukumnya dipertanyakan. Saya geli ketika mengingat masa pekok zaman itu.

Padahal ilmu fikih itu lahir lebih dahulu dari pada ilmu hadits, bahkan terpaut sekitar 2 abad lamanya. Ilmu fikih yang mengalami variasi dalam berbagai madzhab saat itu lahir karena tuntutan masyarakat yang telah tersentuh dakwah Islam sedemikian luas. Karena kebudayaan mereka berbeda dengan masyarakat Madinah, maka butuh kerja pemikiran para ahlinya untuk memberikan panduan beragama yang benar agar mendekati kehidupan Rasulullah. Ya sudah pasti tidak sama persis dengan masa Rasulullah, tapi kaidah-kaidahnya tidak melenceng.

Sedangkan ilmu hadits, lebih tepatnya penelitian hadits dan pembukuannya lahir di zaman ketika kekuasaan Islam rusak oleh berbagai fitnah dan orang gampang menyatakan sesuatu atas nama Rasulullah. Sehingga dilakukan kerja besar yang berat untuk menyeleksi mana kata-kata yang benar-benar dari Rasulullah dan mana yang bukan. Perlu diketahui, para pakar ini mengoleksi hadits beratus-ratus ribu. Kemudian mereka hanya sempat menuliskannya beberapa ribu saja dalam kitab mereka. Dan sudah pasti generasi berikutnya hanya akan kebagian lebih sedikit lagi. Apalagi zaman kita, selain dapatnya sedikit, salah memakai pula.

Itulah kekonyolan masa lalu saya yang begitu menggelikan yang terus saya ingat hingga sekarang. Alhamdulillah sekarang sudah memasuki rel yang menurut saya lebih tepat. Dalam fase kenabian Muhammad, tonggak perbaikan umat dimulai dengan turunnya al Quran. Artinya rujukan utama dari dakwah Islam itu adalah dari kitab ini. Kemudian ketika Islam menyentuh wilayah yang luas, manusia yang memeluk Islam makin banyak, bersentuhan dengan kekuasaan dan corak kebudayaan yang berbeda, maka lahirlah ilmu-ilmu baru yang dibangun para ulama agar umat Islam dapat memahami Islam menurut kadar akal mereka.

Mula-mula di kalangan orang Arab sendiri, baik yang beriman dengan kebenaran al Quran maupun sekedar pengagum al Quran mengakui bahwa al Quran adalah sebaik-baik karya yang pernah ada. Menurut mereka, belum pernah ada perkataan-perkataan yang kandungan sastra maupun kualitasnya sehebat al Quran. Maka dari al Quran ini dirumuskanlah kaidah-kaidah bahasa Arab (nahwu dan sharaf) berikut tata aturan penulisannya yang terus mengalami revisi dari waktu ke waktu. Makanya bahasa Arab itu tetap awet karena meskipun dialeknya banyak, standar bahasanya tetap ada, yaitu al Quran.

Kemudian secara beruntun lahir ilmu fikih, ilmu kalam, tasawuf, ilmu hadits, dan ilmu-ilmu baru yang awalnya karena muncul masalah baru dan para ulama melakukan ijtihad berdasarkan al Quran untuk membuat panduan bagi umat Islam dalam menghadapi masalah tersebut. Jadi kerja peradaban Islam itu kerja ilmu yang sangat berat. Tidak macam umat Islam sekarang, yang berpikir saja malas, hobinya berkubu dan dikit-dikit eyel-eyelan benere dhewe. Sudah malas belajar, sok tahu lagi.

Makanya kalau sekarang ada seorang yang mengaku mengerti hadits, lalu dengan entengnya merendahkan ulama besar seperti Imam Syafii atau imam madzhab lainnya gara-gara dahulu membuat kaidah fikih dari landasan hadits yang menurut gurunya (yang hidup di abad 14 H) haditsnya palsu, alangkah tidak beradabnya. Lebih tahu mana Imam Syafii yang dahulu mengembara dari guru ke guru, dibandingkan gurunya si orang ini yang membaca hadits cuma dari perpustakaan saja. Dan kita pasti menjumpai kasus perpecahan umat Islam lebih banyak disebabkan karena enggan menelusuri sejarah dan terlalu fanatik dengan golongannya sendiri. Jika dua hal itu melekat, mending kabur saja ketimbang berdebat dengan mereka. Percuma.

Saya selalu geli ketika ingat masa-masa sebelum ini. Dengan mengingat kekonyolan semacam itu, akhirnya saya semakin menyadari betapa banyak hal yang tidak saya tahu. Pokoknya sekarang belajar terus. Apa yang saya ketahui di masa lalu, saya koreksi dari hasil belajar hari ini. Apa yang saya ketahui hari ini, mungkin saja salah setelah di hari depan saya belajar lagi. Begitulah belajar. Jangan kekeuh-kekeuhan. Semua butuh proses.

Juwiring, 24 September 2016

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.