Sering timbul kegelisahan ketika membaca sejarah Nabi Muhammad soal perang. Banyak yang berkilah bahwa umat Islam itu baru perang, kalau diserang. Benarkah?

Kenyataannya, dari sekitar 50-an ekspedisi Nabi (baik beliau sendiri menjadi pemimpin pasukan atau sekedar mengutus pasukan), peperangan yang beliau lakukan bersifat ekspansif, atau menyasar keluar Madinah. Barangkali hanya perang Uhud dan Khandaq yang sifatnya pertahanan dari serangan luar.

Sisi ini sering menjadi celah untuk menyerang dan mendiskreditkan Nabi Muhammad sebagai Nabi yang hobi perang. Kemudian tangkisan yang paling umum biasanya adalah sejak ada Nabi angka peperangan kan sudah berkurang. Oh ya? Jika Nabi dalam 23 tahun mengadakan 50 ekspedisi, artinya setahun perang dua kali dong. Agak susah diterima logika, bahwa setahun 2 kali perang itu sebagai sesuatu yang jarang.

Akhirnya saya mendapatkan jawaban yang lebih masuk akal terkait hal itu. Dalam misi kerasulannya, Nabi tetaplah menjadi manusia biasa. Ketika di Mekah, beliau berusaha menyampaikan Islam secara ideologis di hadapan para penguasa aristokrasi Mekah. Hasilnya beliau ditekan habis-habisan oleh kaum aristokrat, hanya segelintir saja yang mendukung beliau. Sebagian besar pengikutnya adalah kaum tertindas yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan kaum aristokrat Mekah.

Di puncak tekanan itulah, akhirnya beliau mendapat perintah hijrah ke Madinah. Sebagai pengantar, Madinah adalah desa yang rawan konflik antar kabilah. Sebelum hijrah, Nabi sempat membantu meletakkan pondasi perdamaian di sana hingga lahirlah baiat Aqabah. Makanya tidak heran jika, beliau disambut saat hijrah. Tapi apakah beliau menerapkan kembali cara-cara dakwahnya di Mekah saat tinggal di Madinah? Tidak. Beliau lebih realistis dan mengutamakan stabilitas. Dengan populasi umat Islam hanya 30% dari total penduduk Madinah, Nabi justru mendorong upaya-upaya perjanjian yang bisa mewujudkan stabilitas Madinah, akhirnya lahirlah Piagam Madinah.

Ketika Madinah stabil, beliau mulai menata strategi untuk mengambrukkan Mekah. Sebagai kota metropolitan yang mengandalkan perdagangan dan ziarah haji sebagai sumber kekayaannya, maka dua sektor itu harus disabotase agar Mekah cepat ambruk sehingga bisa dibebaskan dari cengkeraman aristokrat jahiliyah yang sangat menindas dan menjual Ka’bah dengan berhala-berhala untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan posisi Madinah yang berada di antara Mekah dan Syams, maka beliau mulai mengajak pengikutnya, terutama yang dari Mekah untuk melakukan sabotase-sabotase pada kafilah dagang Mekah. Warga Madinah pun ada yang turut membantu upaya ini.

Jadi perang Badr sebenarnya bermula dari penghadangan kepada kafilah dagang Abu Sufyan dari Syams. Ketika mengetahui ada gerakan pasukan Madinah yang hendak merampasnya, Abu Sufyan segera meminta bala bantuan dari Mekah untuk mengamankan perjalannnya. Sebelum bantuan datang, ternyata kafilahnya berhasil lolos dari sergapan pasukan Nabi. Abu Sufyan sebenarnya langsung memberi tahu dan mengajak pasukan Mekah kembali pulang. Tetapi karena mereka terlampau sombong dan terdorong oleh nafsu untuk menghancurkan, akhirnya tetap nekad berperang melawan pasukan Madinah yang lebih siap dan mengetahui medan tempur. Tentu saja ada berbagai keajaiban langit yang datang, tetapi pertempuran Badr tetaplah pertempuran manusiawi yang menunjukkan proses adu strategi.

Di perang Badr ini, sosok Abu Jahl akhirnya tewas. Apakah dia seorang yang bodoh (Jahl) seperti julukannya? Jelas tidak. Jika Abu Jahl adalah sosok yang ecek-ecek, maka itu sangat menghina kedudukan Nabi. Bagaimana mungkin orang hebat seperti Nabi diberi musuh yang kelasnya kroco dan bodoh (jahl). Julukan Abu Jahl sebelumnya adalah Abul Hakam, pemilik kebijaksanaan. Maka bisa dibayangkan bagaimana strategi intimidasi yang dijalankannya ketika Nabi masih di Mekah. Sehingga kematiannya di Perang Badr adalah sebuah keuntungan besar bagi Madinah. Sebab Mekah kehilangan salah satu tokoh intelektual sekaligus budayawan andalan mereka. Selanjutnya, ekspedisi-ekspedisi beliau adalah untuk membentuk jaringan kekuatan ekonomi bersama yang bisa memblokade Mekah. Jadi jangan marah jika saya katakan bahwa peperangan Nabi itu untuk membangun jaringan penguatan ekonomi Madinah dan menghancurkan perekonomian Mekah. Karena itu jawaban yang paling masuk akal mengapa beliau melakukan ekspansi pasukan.

Jadi apa yang menjadi daya tarik dakwah Islam di era Madinah, padahal Nabi justru banyak mengirimkan ekspedisi pasukan? Akhlak perang. Sejak di Mekah, Nabi hidup sebagai manusia dengan kualitas akhlak yang sangat terpuji. Sehingga meskipun dimusuhi kaum aristokrat, pamor Nabi sebagai orang yang sangat terpercaya tidak pernah surut. Hal itu terbukti ketika akan hijrah, banyak barang titipan yang harus dikembalikan Ali. Ini adalah bukti, betapa pun Nabi dibenci karena ajarannya, tapi Nabi adalah tempat yang aman untuk menitipkan barang-barang berharga. Akhlak yang agung ini tetap mewujud dalam perang. Terbukti bagaimana beliau membuat aturan ketat tentang perang, seperti melarang menebang pohon, menghancurkan rumah, ladang, dan pekarangan, membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan para pendeta, membunuh tawanan yang telah menyerah, dan seabreg larangan yang intinya memanusiakan manusia.

Daya tarik dalam peperangan inilah yang secara pelan-pelan menaikkan pamor pasukan Madinah. Puncaknya adalah ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah. Model diplomasi Nabi yang seolah-olah terlihat mengalah terhadap Mekah, berhasil memenangkan hati bangsa Arab. Melihat ketinggian akhlak Nabi ini, satu persatu kabilah Arab memilih untuk berkoalisi dengan Madinah. Pamor Madinah akhirnya terus naik. Perekonomian Madinah tumbuh pesat. Sebaliknya, Mekah terus mengalami krisis akibat pemutusan-pemutusan koalisi kabilah Arab. Itu artinya, kaum aristokrat Mekah yang selama ini menjadi penindas terus menipis kantongnya. Tinggal menunggu waktu menuju kebangkrutannya.

Ketika tanda-tanda kebangkrutan Mekah telah tiba, maka Nabi kemudian mengepung Mekah dan berhasil membebaskan tanah kelahirannya tanpa peperangan. Hanya sedikit insiden kecil akibat ulah Khalid bin Walid. Selebihnya, Mekah berhasil dibebaskan dan kedudukannya sebagai kota suci dipulihkan kembali. Mekah menjadi pusat peribadatan bagi semua umat yang mengikuti millah Nabi Ibrahim, nenek moyang Nabi Muhammad. Tidak ada lagi penyembahan berhala sebagai produk dagang para aristokrat Mekah sebelumnya. Maka tidak heran jika Nabi berkhotbah, setelah ini iblis akan putus asa untuk mengajak umat manusia menyembah patung. Tetapi, bukan tanpa celah, karena godaan selanjutnya adalah uang. Kelak manusia-manusia setelah Nabi akan sangat menuhankan uang melebihi apa pun.

Kini, 14 abad telah berlalu. Apakah ada berhala patung di Mekah? Tidak ada. Apakah berarti di sana sudah tidak ada pemberhalaan lagi? Silahkan direnungkan kembali. Sementara itu, di seluruh penjuru dunia Islam, umat Islam justru bertengkar pada perkara yang jauh dari apa yang dituntunkan Nabi selama hidup. Bagaimana akan mengikuti Nabi, sedangkan untuk menjaga akhlak yang baik saja kita sering keteteran. Lalu kita berharap Islam akan dimuliakan oleh manusia. Bukankah manusia mula-mula akan melihat perilaku umat Islam, sebelum kemudian belajar Islam lebih dalam? Mari kita renungkan.

Surakarta, 2 Juni 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.