Mbah Nun merumuskan bahwa filosofi Universitas itu adalah satu ruangan besar dengan banyak pintu, dan semua orang berusaha menuju ke pusat ruangan itu. Tapi di Indonesia, universitas itu adalah ruangan dengan banyak kamar, dan setiap orang asyik bermain di kamarnya masing-masing.
Dengan filosofi pertama, maka orang akan mudah berdiskusi meskipun dengan latar belakang berbeda, bahkan saat berdebat sengit sekalipun tidak akan ada rasa benci karena sama-sama menuju pusat ruangan. Semakin mereka mendekat, semakin mereka saling mengenal karena memang tujuannya ya sama.
Sementara dengan filosofi yang kedua, untuk membahas sesuatu yang barangkali sama bisa jadi terjadi perbedaan pendapat yang tidak ada ujungnya. Karena semua mengunggulkan hasil pemikiran di kamarnya masing-masing. Ya maklum, semua merasa benar sendiri saat di kamarnya masing-masing. Perdebatannya ya cuma lewat mikrofon antar kamar dengan acuan kebenaran kamar masing-masing.
Dengan filosofi pertama, kolaborasi sangat mungkin terjadi karena memang sejak awal apa yang dilakukan ya untuk SATU TUJUAN. Tapi dengan filosofi kedua, seringnya terjadi persaingan unjuk keunggulan karena masing-masing kamar tentu tidak mau kalah dengan yang lainnya. Kompetisi ini saya yakin tidak masuk akal dan wagu, bagaimana mungkin beda kamar bertarung untuk satu hal yang mereka sangka paling benar?
Nah, kira-kira kita sekarang cenderung pada filosofi yang mana, pertama atau yang kedua. Hal ini akan menentukan langkah-langkah kehidupan kita. Apalagi ini zamannya apa-apa berkamar-kamar, tidak hanya di soal Universitas, di bidang agama, ekonomi, politik, dll semuanya mengikuti pola kamar-kamar semacam itu. Nah, jika filosofinya tetap berbasis kamar, bisakah kita menuju pusat ruangan?
Juwiring, 2 Agustus 2016