Polemik yang sangat aneh di pusat NKRI (baca: Jakarta) sebenarnya hal yang biasa. Kalau tidak percaya tanya mayoritas orang di desa yang setiap hari cuma pergi ke ladang, ke sawah dan tidak mengikuti berita politik. Kegalauan ini hanya dimiliki para penonton berita dan kaum sosmed yang memang sangat intens menggunakan media ini karena begitu nganggurnya (seperti saya).
Setelah saya mencoba berpendapat tentang bedanya negeri dengan negara? Kini kita mencoba menelusuri masalah pokok dari keruwetan di NKRI. Menurut saya, kisruh yang sangat aneh tersebut dimulai karena bangsa ini belum memiliki pendapat kolektif yang sama terkait perbedaan Negara dan Pemerintah. Di konstitusi dasar kita, hal ini pun belum jelas. Sehingga tidak masalah dan tidak perlu bingung saat penyelenggaran negara dan pemerintahan tidak jelas.
Mari kita tengok negeri tetangga kita Malaysia untuk belajar tentang kedua hal pokok tersebut. Malaysia adalah negara yang dibentuk dari perserikatan negara Kesultanan pada periode sebelumnya dan beberapa daerah jajahan Inggris. Maka negara tersebut berbentuk federal. Kepemimpinan negara itu ditetapkan berdasarkan musyawarah para pemangku kekuasaan kesultanan dan menetapkan secara periodik siapa kepala negaranya dengan gelar, Yang Dipertuan Agung. Dan negara ini menjalankan fungsi sebagai kekuasaan tertinggi dalam menjaga, melindungi, dan memayungi tanah air dan masyarakat yang tinggal di wilayah teritorial bernama Malaysia tersebut.
Selanjutnya, negara itu memberikan ruang kebebasan berdemokrasi untuk menentukan siapa yang akan memimpin pemerintahan. Jadi dengan mudah dapat dipahami bahwa pemerintahan hanyalah bagian dari negara itu. Maka pemerintah adalah anak buah dari negara yang bertugas untuk mengurusi masalah pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Dengan konsepsi ini maka, perwakilan rakyat dan peradilan dapat berdiri sejajar dengan pemerintahan untuk menjalankan fungsinya tanpa saling berebut. Lembaga-lembaga lain yang seandainya ada pun akan mendapatkan kedudukannya masing-masing dan dapat berperan. Karena semua itu tercakup dalam perlindungan Negara, dengan kepalanya Yang Dipertuan Agung.
Dan sekarang tengoklah Thailand, bagaimana Mahkamah Konstitusi berani membatalkan hasil pemilu, bagaimana tentara berani mengkudeta pemerintahan, tapi adakah cerita mereka akan menggulingkan Raja Bhumibol Adulyadej? Tidak ada, karena Raja adalah lambang negara yang memegang fungsi payung untuk negeri Gajah putih tersebut. Lihat Inggris, lihat Iran dengan imamahnya, lihat Saudi, dan negara-negara yang sehat secara identitasnya. Kecuali Amerika Serikat dan beberapa negara yang mirip dengannya yang secara internasional mirip dengan perampok negeri-negeri lainnya di dunia yang menggunakan manipulasi hukum. Lalu bagaimana dengan NKRI? Mungkin berat rasanya mengatakan bahwa NKRI adalah cabang PT. USA di Nusantara, tapi jika dilihat dari faktanya ya begitulah adanya.
Nah, NKRI yang kita beri amanat mengelola bilad (tanah air) Indonesia ini tidak memiliki konsepsi yang jelas untuk hal itu. Di negeri kita, sejak era reformasi bergulir lembaga-lembaga berdiri sejajar tanpa ada payungnya. Dahulu (meskipun masih sering dimanipulasi), MPR berfungsi sebagai lembaga negara tertinggi yang secara tidak langsung itu adalah representasi kekuasaan negara yang dititipi amanat oleh rakyat dan Tuhan sebagai pemilik tanah dan bumi di Nusantara ini. Tapi hari ini, paguyuban lembaga-lembaga (pemerintahan, perwakilan, peradilan, pertahanan) yang tetap menamakan diri sebagai NKRI ini sedang bermain kelereng di hadapan para leluhur dan anak cucunya. Jadi sebagai pewaris tanah yang mulia ini, kita disuguhi tontonan permainan kelereng. Silahkan tertawa, sedih, atau apa pun, itu hak kita sebagai pemilik kedaulatan.
Maka tidak usah heran jika KPK dihancurkan oleh persatuan sebagian parpol yang bekerja sama dengan lembaga keamanan rakyat dan presiden diam saja. Karena mereka kan siswa-siswa di kelas yang tidak ada guru dan kepala sekolahnya sehingga ada yang dapat membuat geng untuk menghabisi geng lainnya. Sementara yang tidak punya teman cuma bengong lihat sana, lihat sini. Sulit saya menerima kenyataan bahwa Presiden Jokowi adalah kepala negara yang sesungguhnya. Di sisi lain saya bangga dengan bangsa-bangsa di Nusantara ini yang tetap adem ayem sekalipun kita tidak memiliki kepala negara dalam arti yang sebenarnya. Karena kitalah yang hari ini bertanggung jawab untuk menjaga dan menyayangi bilad (tanah air) Indonesia ini. Kita akan tetap menyayangi Presiden Jokowi dan para elit politik yang saat ini tengah berjuang untuk mengatasi masalah rumit yang tidak jelas landasannya ini.
Di sinilah peran Negara yang sesungguhnya diperlukan sebagai orang tua dari paguyuban lembaga-lembaga negara tadi. Entah wujud kekuasaan Negara ini adalah perserikatan dari wakil suku bangsa (lebih tepatnya bangsa-bangsa), wakil para tokoh agama, tokoh adat atau apa pun yang menjadi identitas dasar dari negeri ini, yang dihormati dan disegani oleh rakyat. Mereka adalah orang-orang yang sudah purna dan menempatkan diri sebagai pusaka untuk tanah air ini, tidak lagi turut berperang dalam kekuasaan politik.
Mungkinkah itu bisa dilakukan jika melihat kerusakan pola pikir seperti hari ini dimana pikiran politis dan mental korupsi sudah menjadi habitat primer bangsa? Saya juga tidak tahu. Tapi saya rasa kita masih punya senjata yang ampuh agar Allah tidak menghukum kita semua dengan pasukannya yang tersebar lengkap di sekitar kita, mulai dari air hujan, gunung api, angin, dua samudera serta pasukan lainnya yang terus bersiaga menunggu perintah-Nya. Mari berdoa dan terus menjaga persaudaraan di antara kita.
Negarawan-negarawan muda hari ini akan diminta menjawab tantangan ini di masanya nanti.
Surakarta, 19 Februari 2015