Mungkin ada kekhawatiran bahwa jika Amerika Serikat menyerang Indonesia pada suatu saat karena Indonesia berani menantang negara adidaya itu. Maka imajinasi saya, AS akan dengan mudah ditaklukkan tanpa mengorbankan nyawa yang besar. Medan alam Indonesia yang menyeramkan tidak akan membuat serangan udara AS efektif, sehingga kekuatan darat dan laut akan diturunkan agar serangan udara efektif.
Andaikan mereka datang dengan kapal induk dan kapal perangnya, maka TNI perlu membuat strategi dengan membalik sistem ketahanan dan keamanan yang berlaku. Rakyat yang semula adalah benteng terakhir, ia dijadikan garda terdepan yang tugasnya menyambut kedatangan pasukan AS dan tank-tanknya dengan penuh suka cita. Sebagian TNI turut bergabung dengan seragam rakyat dan mengkoordinir rakyat, pasukan lainnya bersembunyi dan menyembunyikan persenjataan mereka.
Bolehlah pasukan udara AS sombong dengan ngebom ke sana kemari, tapi mereka bingung karena sama sekali tidak ada perlawanan. Lalu pasukan laut juga bingung karena tidak ada serangan apa pun. Mereka leluasa mendaratkan pasukan-pasukan mereka. Alangkah terkejut karena begitu mereka sampai di daratan, mereka disambut meriah oleh rakyat dengan suka cita. Aneka pesta digelar dan para pasukan dimanjakan dengan tour wisata gratis ke setiap destinasi wisata unggulan di daerah yang mereka datangi.
Mereka diajak keliling-keliling oleh tokoh-tokoh masyarakat ke kampung-kampung yang orangnya hidup sederhana dan memiliki nilai kehidupan yang dalam. Puncaknya gadis-gadis yang siap nikah ditampilkan. Mereka ditawari untuk menikahi gadis-gadis dengan syarat tinggal di Indonesia dan turut menjadi bagian dari keluarga bahagia di negeri yang permai ini.
Hanya tentara-tentara AS yang sok nasionalis saja yang kemungkinan menolak. Tentara yang materialistik dan rasional tidak akan menolak tawaran menggiurkan ini karena mereka lebih tidak mau lagi dikirim ke Afrika atau Timur Tengah yang kering dan panas, serta orang-orangnya kasar. Tentara yang masih cinta kehidupan tentu memilih tinggal di Indonesia yang hijau dan orang-orangnya memiliki kecakapan hidup alami. Dan tentu saja tinggal di samping istri yang kesetiaannya lebih terjamin dibandingkan umumnya wanita-wanita AS hari ini.
Akhirnya separuh atau mungkin sebagian kecil mereka saja yang sok nasionalis terpaksa pulang kembali ke AS dengan kekecewaan. Kalah tanpa perang dan bingung. Menghadap presiden AS dengan laporan yang aneh. Kami kalah dengan alasan yang sangat tidak jelas, kami kehilangan pasukan karena lebih betah tinggal di Indonesia dari pada kembali.
*Cerita ini hanya fiktif dan tidak layak ditulis dalam ramalan sejarah
Surakarta, 3 Januari 2015