Kalau bicara anti-pluralisme agama, saya justru mendapatkan tindakan aplikatif agar umat terbiasa berkomitmen dalam beragama saat maiyahan. Dalam majelis yang emezing itu, pernah hadir seorang Pastor sahabat Cak Nun. Dan ada satu percakapan penting yang begitu tegas namun hangat sebagai komitmen toleransi. Karena saat ini umat Islam dan umat beragama lain kerap diprovokasi untuk saling bertengkar ketimbang berdialog.

Dalam forum itu, Cak Nun berkelakar, “Pak Pastor, sampeyan ki dadi wong Katolik niku rak merga sampeyan yakin Katolik niku agama sing bener to, lan liyane dudu agama to. Aku yo ngono Pak, aku dadi wong Islam merga Islam tak yakini 100 % agama sing bener, lan liyane tak anggep dudu agama. Oleh ora ngono kuwi? Oleh wae. Sing ora oleh kowe do paten-patenan merga kowe meksakke benermu kuwi. Mangkane pemeluk agama sing bener ki yo yakin karo ajarane, lha nek kabeh agama mbok anggep padha, trus gunane apa kowe dadi wong Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha lan liyane. Mulane aja do kerengan bab keyakinan ngene iki, sing penting ayo do urip jujur lan guyup.”

Saya menggaris bawahi bahwa pemeluk agama yang benar itu yakin dengan ajaran agamanya dan melaksanakannya dengan baik. Bukannya sok bergaya menyamaratakan semua agama sama. Kalau semua agama diyakini sama, buat apa ada ajaran-ajaran agama, itulah kerusakan yang ditawarkan pluralisme. Maka mari sibuklah mendalami dan mengaplikasikan nilai-nilai agama, baik yang berdimensi individu dan sosial secara seimbang. Belajarnya dengan rendah hati ke sebanyak-banyak guru. Tidak dengan fanatisme dan debat kusir karena sudah mengunci diri dengan klaim sepihak padahal input ilmu belum seberapa. Yang lebih memprihatinkan lagi saat ini kita mudah dikuasai prasangka dan diperalat oleh aneka berita yang cenderung memperkeruh suasana. Belum lagi emosi yang mudah disulut dan kurang kerjaan meladeni pemikiran orang-orang JIL yang sebenarnya segelintir saja.

Pertanyaanya, beranikah kita berkelakar tapi serius semacam itu kepada teman-teman non muslim kita. Jika komitmen ini benar-benar diterapkan, maka seharusnya tidak ada protes saat rapat diskors, pekerjaan dijeda karena waktu shalat tiba. Begitu pula kalau buat acara akhir pekan, sesuaikan dengan jadwal teman non muslim agar tidak benturan dengan jadwalnya beribadah. Teman-teman non muslim mungkin juga menyediakan piring dan gelas khusus untuk tamu yang muslim. Begitu pula kaum muslimin akan lebih serius belajar akustik sehingga speaker masjid itu benar-benar ditangani dengan profesional dan banyak melakukan pembibitan muazin dan qari agar suara azan dan tilawah yang diperdengarkan selalu indah didengar, tidak hanya oleh yang muslim tapi juga oleh non muslim. Betapa harmoninya kehidupan semacam ini. Ah saya mungkin bermimpi saja, karena hari ini entah mengapa aroma perang dan darah lebih lezat. Saya merinding dengan potret keputusasaan semacam ini.

Saya masih perlu banyak input dan berguru. Wallahu a’lam.

Gunungkidul, 20 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.