Suasana kebersamaan menyelimuti rumah Maiyah Solo. Para peserta tampak berdatangan setelah shalat isya’. Menjelang pukul setengah sembilan, mas Wasis mengawali pertemuan dengan mengajak jamaah membaca al Quran yang dipimpin oleh mas Rafi. Setelah itu dilanjutkan dengan shalawat bersama. Jamaah khusyu’ mengikuti amalan pembukaan itu.
Selanjutnya, sesi diskusi dibuka dengan senandung Kidung Wahyu Kalaseba yang dibawakan oleh Orkes Selaksa. Ada pemandangan spesial malam ini, karena sang vokalis dik Einstein menggunakan kacamata hitam untuk menutupi mata merahnya karena sedang beleken. Meski demikian, lantunan Kidung mampu membawa suasana khidmat jamaah sehingga mereka dapat mengkondisikan diri. Selain itu, pada kesempatan malam hari ini, diperkenalkan vokalis Selaksa yang baru, mbak Nisa.
Diskusi malam ini mengangkat tema “Ngrumangsani Kalah, Wani Ngalah Luhur Wekasane”. Mas Wasis memanggil dua peserta yang dikenal sebagai pembelajar tentang Jawa, mas Rendra dan mas Wisnu. Mas Rendra membabar hal-hal yang berkait dengan Jawa dengan pendekatan ilmu filologi. Beberapa analisis dikemukakannya tentang asal usul Jawa, apakah ia adalah tempat, kebudayaan atau nilai.
Dari paparannya yang panjang itu, beliau menandaskan bahwa kita mengalami krisis jatidiri sehingga kita sebagai generasi Jawa telah kehilangan ke-Jawa-an kita. Beliau sendiri mengaku sebagai putra kelahiran Jogja, tapi kemudian berpindah-pindah tinggalnya di berbagai kota di Indonesia, akhirnya tidak mampu berbahasa Jawa.
Beliau bercerita juga tentang petualanganya naik gunung yang merupakan hobinya sebagai jalan dia mengenal kembali Jawa. Juga pengalamannya membaca naskah-naskah kuno, karena dirinya juga mahasiswa sastra Jawa. Menurutnya, kita perlu kembali mengenal leluhur kita. Caranya lewat hal-hal yang kita sukai. Beliau mencontohkan rekan sebelahnya, mas Wisnu yang belajar Jawa dari kegemarannya, yaitu burung. Lewat berbagai hal tentang burung, mas Wisnu bisa mengenal Jawa.
Selesai pemaparan mas Rendra, mas Wasis membuat kejutan dengan menyanyikan lagu keroncong Lungiting Asmoro yang langsung diiringi Orkes Selaksa. Sebuah kejutan mengingat tidak ada latihan apa pun sebelumnya. Lewat lagu tersebut, mood peserta disegarkan kembali agar siap merespon dengan pertanyaan.
Setelah dibuka diskusi, seorang jamaah merespon dengan menanyakan hubungan Jawa dengan Jewish, juga banyaknya hal-hal di dunia ini yang terpengaruh Jawa. Mas Rendra mengakui pertanyaan itu sangat berat, tapi beliau mencoba merespon dengan jawaban bahwa Jawa memang tempat pasemon, sesuatu yang penuh sandi. Hal inilah yang kadang melahirkan istilah othak athik gathuk.
Lahirnya tembung Subyek Predikat kata selalu berhasil dimaknai dengan pendekatan menuju Tuhan. Keadaan alam selalu menuntun orang Jawa untuk mengenal Tuhan. Namun di sisi lain, alam yang begitu memanjakan ini membuat orang Jawa terlena.
Mas Rendra melanjutkan uraiannya dengan berkisah tentang Gunung Lawu. Serat Centhini menjadi salah satu referensi penting untuk mengenal jalur-jalur pendakian gunung tersebut. Beliau mengaku sudah ratusan kali mendaki gunung itu sejak kecil karena mendapatkan tantangan dari eyangnya untuk menempuh 24 jalur yang berbeda. Dari gunung Lawu itu beliau mengenal karakter leluhur Jawa yang selalu menghormati tempat-tempat yang diyakini suci. Beliau juga bercerita bahwa di masa masyarakat Jawa telah memeluk Islam, masjid-masjid tua yang selalu didirikan di dekat sendang-sendang tua.
Lebih lanjut, beliau menceritakan kecerdasan para leluhur Jawa memangku berbagai hal yang masuk sehingga bisa harmonis. Contohnya kisah Sultan Agung Hanyokrokusumo yang membuat penggabungan sistem penanggalan Jawa dengan sistem penanggalan Islam. Dan masih banyak lagi bagaimana hal-hal yang masuk ke Jawa, bahkan sejak sebelum Islam. Maka dari itu, beliau menggarisbawahi bahwa masa depan bangsa ini bisa diselamatkan dengan cara memangku.
Setelah mas Rendra, Pak Munir As’ad selaku sesepuh maiyah Solo memberikan tanggapan juga. Menurut beliau, Jawa meletakkan hubungan antar manusia sebagai sesema subyek, tidak sebagai obyek, seperti kebanyakan kebudayaan non Jawa. Sehingga dalam bisnis sekalipun, jika konsep ini dilakukan maka tidak ada eksploitasi dan penindasan, karena hubungan yang dibangun dengan landasan cinta.
Lebih lanjut, beliau mengingatkan jamaah agar tidak menyempitkan pengertian ayat-ayat Allah sekedar ayat yang tertulis dalam mushaf al Quran. Jika ayat yang di dalam mushaf menerangkan pentingnya manusia memahami dan mentadabburi ayat-ayat-Nya, maka yang dimaksud ya semua hal yang diciptakan-Nya. Dan itulah yang sejak lama dilakukan para leluhur Jawa.
Teori-teori modern ibarat hijab dan kegelapan bagi manusia. Jika digambarkan dalam wayang, kegelapan itu digambarkan sebagai Krisna. Di masa lalu, kehidupan manusia pun pernah mengalami kegelapan hingga pada puncaknya diutus Rasulullah Muhammad untuk menjadi pencerahnya kembali. Beliau kembali mengurai pentingnya tadabbur pada ayat-ayat Allah dengan rendah hati agar kita semakin dekat pada-Nya, tidak terbelenggu dengan berbagai teori yang justru membuat kita berpikiran sempit.
Pada bagian terakhir, beliau mengingatkan tentang segitiga cinta. Juga alasan mengapa kita harus cinta kepada kanjeng Nabi, karena dengan mencintai beliau, insya Allah akan menghadirkan kecintaan Allah pada kita dan dengan rahmat-Nya kita akan selalu diliputi rasa cinta. Momentum ini disambut mas Islamiyanto dengan mengajak jamaah menyenandungkan Miftahul Jannah.
Orkes Selaksa kemudian mengiringi lantunan Miftahul Jannah sembari mengajak semua jamaah turut bersenandung. Usai senandung pertama, langsung disambung dengan Sidnan Nabi lewat duet dua vokalis Selaksa, mas Dika dan mbak Nisa.
Sesi diskusi dilanjutkan, mas Wasis kembali membuka pertanyaan. Pak Nurdin asal tatar Sunda mengawali pertanyaan tentang fenomena perbedaan Sunda dan Jawa, terutama penyebutan kiai pada benda-benda oleh masyarakat Jawa, tapi tidak dilakukan oleh masyarakat Sunda. Kemudian mas Wahyudi bertanya tentang konsep ngalah dari leluhur Jawa. Terakhir adalah mas Faisal yang memberi respon terkait asal usul istilah Java Script yang berawal dari 4 mahasiswa MIT yang hobi membuat program sambil mengkonsumsi kopi asal Nusantara, tepatnya asal Jawa. Sehingga muncullah kata Java.
Mas Rendra merespon dengan menjelaskan asal usul penggunaan Kiai dalam masyarakat Jawa sampai akhirnya disematkan pada benda-benda pusaka, termasuk pada hewan seperti kerbau. Beliau menceritakan salah satu versi asal usul mengapa Kerbau Albino di Solo diberi nama Kiai Slamet, itu adalah sindiran dari masyarakat Solo dan para bangsawan bahwa mereka masih tetap bisa mengendalikan para bule Eropa. Hal ini menjadi semacam penyemangat karena situasi saat itu Surakarta sudah dalam cengkeraman Kompeni.
Beliau juga mengungkap soal Perang Bubat yang kemudian dimanipulasi pemerintah Kolonial untuk menyuburkan kebencian dan permusuha . Kidung Sunda yang bercerita lengkap kisah awal mula perang Bubat hingga rekonsiliasi para tetua Majapahit dan Sunda untuk kembali bersaudara, dipangkas sampai kisah sumpah serapah Diah Pitaloka yang mengutuk Hayam Wuruk. Proyek ini dikerjakan besar-besaran oleh Pemerintah Kolonial lewat penerbitan Balai Pustaka dengan mencetak Kidung Sunda tidak lengkap tersebut dalam berbagai bahasa.
Menanggapi soal filosofi ngalah, beliau mengungkap bahwa leluhur Jawa tidak mengenal istilah menang kalah. Maka hakikat kemenangan dalam masyarakat Jawa bukanlah menang dalam arti fisik yang biasanya dalam bentuk penaklukan. Namun kondisi saat ini sudah bergeser, seperti yang dipaparkan mas Faisal tentang hasil risetnya tentang penggunaan bahasa ibu di kalangan anak-anak Solo yang ternyata mulai terkikis.
Ditambah lagi latah masyarakat kita yang hobi mengagumi bule. Bahkan kita lebih terkesan pada bule yang pandai berbahasa Jawa dari pada mengapresiasi orang Jawa yang konsisten menggunakan bahasa Jawa. Lebih celaka lagi, kita justru lebih suka mengekspos sisi buruk kita sendiri secara berlebihan. Padahal harusnya kita syukuri apa-apa yang hari ini masih bertahan setelah berpuluh tahun mereka melawan gempuran kebudayaan Eropa.
Beliau kemudian mengungkapkan beberapa kecelakaan kebudayaan di pusat Jawa. Tari Gambyong yang semula tari ledek di pinggiran ditarik ke kraton demi menarik dukungan politik rakyat agar setia kepada kraton. Di zaman ini, kerusakan makin menjadi-jadi dengan penamaan anak-anak bangsawan yang justru Eropasentris. Dan yang terparah, seperti yang di Solo, banyak naskah-naskah kuno yang justru dijual kepada bule. Seakan warisan leluhur itu sudah tidak ada harganya.
Pak Munir As’ad menambahkan cerita tentang pengalamannya menemukan peta air seluruh dunia. Beliau menceritakan bahwa pusat-pusat kerajaan pasti berada di jalur mata air besar. Artinya, pembangunan kerajaan berada dalam hitungan ilmiah yang tepat. Kemudian beliau mengulas makna sholeh yang selama ini diterjemahkan terlalu sempit. Menurut beliau sholeh outputnya adalah karya yang bermanfaat bagi manusia. Para pencipta karya ini layak disebut mujahidin. Maka mujahid hendaknya tidak hanya dimaknai sempit sebagai orang yang gugur di medan perang. Tetapi mereka yang bersungguh-sungguh membuat karya-karya yang bermanfaat bagi manusia.
Kemudian beliau mengangkat kesadaran kalah. Kesadaran kalah bukan berarti kalah, tetapi kesadaran untuk menyadari adanya siklus sehingga kita bisa menempuh satu putaran penuh melalui fase-fasenya. Umat Islam hari ini terjebak pada rasa selalu menang karena merasa memegang tiket syurga, sehingga justru mengalami kemunduran.
Salah satu praktik dari kesadaran kalah adalah dengan membuat literasi. Orang Islam, termasuk juga orang Jawa itu sebenarnya hebat, tetapi abai untuk menuliskan nilai-nilai kehidupannya sehingga tidak terwariskan dengan baik. Selain itu, kita terlalu santai menjalani hidup, kurang disiplin dan fokus pada karya-karya yang bermanfaat.
Beliau kemudian mengulang konsep kedaulatan yang sering diulas Mbah Nun dalam berbagai kesempatan maiyah. Hari ini kita diserang oleh trend, maka kemampuan kita memilih jalan hidup berdasarkan kesadaran pribadi kita diuji apakah mampu membuat kita bertahan atau justru tumbang dan hanyut dalam trend.
Sesepuh Maiyah Solo, Pakdhe Herman dimohon untuk memberikan kata-kata penutup. Beliau membabar keunggulan orang Jawa, yaitu titen dan rasa. Seperti biasanya, beliau membawakan tembang macapat yang berisi nasihar-nasihat para Walisongo. Kali ini beliau membawakan Dhandhanggula yang berkisah tentang perjalanan Sunan Kalijaga sewaktu masih berguru kepada Syekh Malaya. Di akhirnya beliau berpesan agar kita memegang nilai-nilai Jawa sebagai ciri kepribadian kita, karena kita telah ditakdirkan Allah sebagai orang Jawa.
Akhirnya, dilantunkanlah senandung Muhammad ya Rasulallah sebagai penutup. Semua khusyu’ mendengarkan. Setelah itu para jamaah diajak membaca surat Alam Nashrah dan ummul kitab al fatihah. Para jamaah kemudian saling berjabat tangan. Sebagian pulang, sebagiannya masih melanjutkan diskusi.
Reportase Pertemuan Ke-11 Maiyah Solo, 22 Desember 2016