Kalau bicara soal negara adanya legal dan tidak legal, karena mengacu pada regulasi perundang-undangan. Kalau bicara dalam lingkup akademik di kampus adanya ilmiah dan tidak ilmiah menurut versi metodologi akademik yang lazim.

Tapi perlu diketahui bahwa yang legal atau yang diklaim ilmiah tidak selalu benar, sebagaimana yang tidak legal atau yang diklaim tidak ilmiah juga tidak selalu salah. Hidup ini adalah proses dialektika untuk kita menemukan kebenaran demi kebenaran sampai pada puncak kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran dari Allah, al Haq.

Tidak perlu ikut ribut jika seseorang dijebloskan ke penjara karena melanggar undang-undang, belum tentu dia bersalah secara hakikat. Tidak perlu berbangga jika selama ini aman dari jangkauan hukum karena pandai berkelit di antara aturan hukum, pengadilan akhirat menanti.

Tidak perlu minder jika gagasan kita direndahkan oleh kalangan akademisi karena dianggap tidak ilmiah, karena yang terpenting adalah nilai kemanfaatan dan aplikasi dari gagasan tersebut bagi kehidupan. Tidak perlu merasa sombong jika memiliki publikasi ilmiah bertaraf internasional sekalipun.

Hidup itu sebenarnya sederhana jika kita tidak memperumitnya. Kita kadang lupa bahwa status tertinggi kita di muka bumi adalah MANUSIA dengan kewajiban menjadi ABDULLAH, dan bagi yang mampu berproses ke maqam yang lebih tinggi dapat mencapai derajat WALIYULLAH.

Selama menjadi manusia terkadang kita menjalani peran macam-macam, terkadang menjadi anak, menjadi siswa, menjadi guru, menjadi pak RT, menjadi presiden, menjadi sarjana, menjadi penceramah, dan menjadi apa pun dengan periodisasi tertentu. Saat melakukan peran itu, saat itu kita berhak mendapatkan sebutan atas peran itu.

Makanya kalau ada seseorang shalat di masjid kok mengusir jamaah yang lebih awal datang dengan alasan dia seorang presiden/gubernur/bupati, maka tandanya orang-orang ini sedang lupa dengan statusnya sendiri. Tidak ada ceritanya presiden/gubernur/bupati shalat, yang shalat adalah manusianya yang kebetulan selama periode tertentu mendapat amanah sebagai penguasa.

Demikian juga status haji. Sangat aneh orang yang sudah selesai berhaji lalu pulang ke tanah air kok minta disebut haji. Lho sudah tidak melakukan haji kok minta dipanggil pak Haji. Harusnya ya dipanggil Pak yang pernah Haji gitu. Ibadah haji adalah salah satu dari puncak pengabdian secara syariat. Maka sebutan al Haaj (alias Haji) ya hanya berlaku selama yang bersangkutan menunaikan ibadah haji. Habis it ya kalau tetap mau memakai gelar gunakan status Sudah Pernah Haji (SPH).

Ini era di mana status manusia direndahkan serendah-rendahnya, tidak disyukuri, bahkan dihinakan. Makanya kritik-kritik kepada penguasa hari ini banyak disasarkan pada individunya, bukan pada jabatan kekuasaannya. Mengapa bisa seperti itu? Karena yang mampu menghina seperti itu boleh jadi juga lupa bahwa dirinya manusia.

Juwiring, 18 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.