Ceritanya, mas Sabrang pernah membuat deskripsi gambaran masyarakat Nusantara Jawa di era keemasannya berdasarkan fakta sejarah sebab-akibat penyeberan Islam di tanah Jawa. Masyarakat Jawa waktu itu memiliki pandangan strata sosial hierarkis di mana yang tertinggi adalah orang mulia (Brahmana), orang cendekia, orang berkuasa, orang kuat, dan orang kaya. Sehingga saat penyebaran Islam hanya dilakukan para pedagang (orang kaya) maka masyarakat masih enggan menerima dakwah Islam.
Padahal perdagangan dengan timur tengah sudah berlangsung sejak abad ke 8 dan pemeluk Islam hanya sebatas pesisir Jawa. Hingga akhirnya hadirlah para ulama yang dikenal dengan Wali Songo, kehadiran mereka ternyata mampu mengubah wajah Jawa dengan cepat. Orang Jawa percaya pada kaum Brahmana (dalam hal adalah Wali Songo) sehingga dakwah yang mereka kenalkan diterima dengan cepat. Sebuah transisi dari kepercayaan lama menuju Islam tanpa pertumpahan darah yang besar bahkan hingga waktu itu Islam menjadi identitas masyarakat Jawa seperti halnya Arab dengan kedatangan Islam.
Pernah ada masa (berdasarkan kesaksian para Orientalis generasi awal) bahwa jika “aku Jawa maka aku Islam” yang itu membuat era-era awal kolonialisme, Jawa sulit ditaklukkan. Karena memang pasukan Jawa dikenal paling tangguh, bahkan pasukan Mongol yang tidak pernah dikalahkan di mana pun dalam invasinya, ternyata takluk di tangan pasukan Raden Wijaya (pendiri Majapahit). Hal ini bisa juga dikaitkan bagaimana nasib Inggris yang di mana-mana tidak pernah kehilangan perwira tingginya, sekali datang ke Surabaya harus kehilangan Brigjend AWS Mallaby.
Sayangnya, hari ini dalam jangka waktu 4 abad kemudian, ternyata pandangan hierarkis masyarakat Jawa sudah terbalik 180 derajat. Hari ini strata tertinggi di banyak masyarakat adalah orang kaya, lalu orang kuat, lalu orang yang berkuasa, barulah orang cendekia, dan paling rendah adalah orang mulia. Maka yang terjadi hari ini, mayoritas orang ingin mencapai level tertinggi dalam strata sosial tersebut, yakni orang kaya.
Jika punya kekuatan semua demi meraih kekayaan. Jika punya kekuasaan maka disusunlah kekuatan untuk meraih kekayaan. Jika berilmu maka tujuannya untuk mengakses kekuasaan demi meraih kekayaan. Dan akhirnya kemuliaan dalam hal agama pun dijual demi meraih pundi-pundi kekayaan. Melihat Indonesia hari ini, maka yang paling asyik ya fokus pada pembinaan pribadi, ajak teman, bangun komunitas. Terburu-buru mengejar soal negara kalau tidak kuat nanti juga masuk ke dalam algoritma yang mainstream tadi (yakni kekayaan), meskipun tidak dapat dipungkiri satu dua masih tetap teguh dan kita berdoa untuk kebaikan beliau-beliau yang di puncak ini.
Indonesia indah dalam imajinasiku.
Surakarta, 20 Januari 2015