Ini adalah ilmu yang sudah saya peroleh lama dari majelis Maiyahan. Salah satu sebab kerusakan pola komunikasi sosial, politik, ekonomi dan berbagai hal yang ada di kehidupan kita adalah karena kita kehilangan struktur kesadaran. Kesadaran seperti apa? Kesadaran asal kita mengapa diciptakan oleh Allah.
Sesuai dengan firman Allah dalam al Quran maka kita diciptakan sebagai manusia yang harus beribadah. Maka kesadaran utuh kita adalah manusia yang mengabdi pada Allah. Dalam kasus tertentu, ada manusia yang derajatnya ditinggikan oleh Allah menjadi waliyullah, bahkan ada yang pada hierarki puncak yakni nabiyullah.
Karena kesadaran yang wajib dijaga adalah kesadaran sebagai manusia yang mengabdi pada Allah, maka faktor-faktor lain yang menimbulkan kesadaran baru harus dikurung di dalam ruang kesadaran kita sebagai manusia Abdullah. Jangan sampai ada kesadaran yang lebih besar dari itu.
Perangkat peraturan yang bisa diikuti agar bisa menjadi manusia yang Abdullah adalah Islam, yang Allah turunkan melalui para Nabi dan divalidasi secara menyeluruh dengan turunnya al Quran. Jadi kesadaran kita akan sempurna sebagai manusia yang Abdullah jika kita berhasil mengaplikasikan apa yang telah diatur oleh Allah dalam al Quran.
Sehingga dengan demikian ketika kita berinteraksi dengan aneka madzhab, kesadaran kita sebagai pengikut madzhab tidak boleh melampaui kesadaran kita sebagai manusia. Ketika kita berinteraksi dengan NKRI, maka kesadaran kita sebagai warga negara tidak boleh melebihi kesadaran sebagai manusia. Kesadaran kemanusiaan akan membuat kita bisa selalu berimbang, karena ukuran yang kita ikuti adalah keadilan, bukan keberpihakan sektoral.
Jika kita diberi jabatan sebagai polisi, maka kesadaran kita sebagai polisi ya hanya ketika bertugas, tidak setiap saat mendabik dada sebagai polisi. Jika kita diberi jabatan sebagai gubernur, ketika shalat di masjid ya kesadaran gubernurnya dicabut dulu, sehingga shalat di tempat manapun oke, karena merasa sama-sama sebagai manusia, bukan sebagai gubernur yang minta tempat khusus di ruang masjid. Jika kita diberi jabatan sebagai hakim, maka kesadaran kemanusiaannya jangan hilang, sehingga keputusannya harus tetap dengan pertimbangan keadilan, bukan semata-mata pasal hukum.
Di zaman ini, menjadi manusia itu susah. Karena kita mungkin akan lebih pede jika punya aneka aksesoris yang menempel dalam diri kita baik itu berupa pakaian, kendaraan, jabatan, hingga gelar akademik. Tanpa itu kita kadang merasa minder dan merasa tidak percaya diri. Padahal kelak yang dihisab oleh Allah pertanggungjawaban individual kita sebagai manusia yang Abdullah. Perkara kita dulu jadi gubernur, jadi tukang sapu, jadi apa pun itu adalah bagian kecil dari keseluruhan kesadaran kita sebagai manusia.
Nah, sebelum kita sampai pada jatah antrian untuk mati, mari bertanya, SUDAHKAH SAYA MENJADI MANUSIA?
Juwiring, 9 November 2016