Sore ini, usai shalat ashar seorang bapak jamaah rutin masjid tiba-tiba mengetuk pintu kamar, minta diajarin matematika agar nanti beliau bisa mengajari anaknya yang masih kelas 3 SD. Dahi saya mengernyit waktu lihat materi pelajaran yang beliau tunjukkan di LKS. Alamak, kok perasaan dulu aku sekolah nggak sesulit ini materinya. Apa betul materi sekolahan sekarang udah sulit gitu yak? Ditambah bapaknya mengeluh karena guru-gurunya terlalu banyak memberi PR sampai anaknya mblenger dan tampak kurang bahagia.
Wah, kalau sekolah sekarang bikin galau semacam itu, perlu bikin semacam Sekolah Alam Bengawan Solo lebih banyak lagi nih ya Pak Kepsek. Tapi apa ortu pada siap untuk menerima anak-anak mereka apa adanya? Karena masalah mendasarnya itu, anak yang sebenarnya punya janji pribadi dengan Allah dan perlu dikawal saja untuk melunasi janjinya di dunia, sekarang dipaksa-paksa seperti impian ortunya. Karena obsesi ortu lebih penting dari pada perjuangan anak mengeksplorasi kehidupannya sendiri untuk akhirat mereka.
Makanya kehidupan hari ini memang cukup “nganu”. Gejala homogenitas pikir mewabah. Gejala anti-antian menggila. Gejala sumbu pendek semakin mewabah. Gejala kertas berangka dan berhologram mulai mewabah. Dan gejala demi selain Allah mewabah. Allah Allah Allah, ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim.
Surakarta, 3 Agustus 2015