Karena Pak Erdogan sudah pulang nyetatus tentang beliau ah.

Kekaguman saya pada beliau itu pada kecerdasan argumentasinya menjawab realita sekulerisme ekstrim Turki yang membuat negeri itu miskin dan terpuruk, dengan jawaban dan aksi yang setara (seolah logika sekuler tapi sebenarnya intinya sangat Qurani), dan saya berhusnudzan itu karena pemahaman beliau pada nilai-nilai Islam yang mendalam.

Jawaban itu penting untuk konteks berpikir masyarakat Turki yang telah dipaksa sekuler selama berpuluh-puluh tahun agar mereka percaya pada pemerintah baru mereka saat ini, bahwa pemerintahan Erdogan lebih serius mengurus mereka, dengan sentuhan religius.

Nah, sayangnya yang disini, kagumnya sama Erdogan persis kayak pas kagumnya ke Jokowi dulu (aku juga sempat kagum berlebihan juga kok waktu sering lihat rapatnya yang diunggah ke Yutub, waktu itu pas di Jerman, tapi akhirnya move on karena itu over acting aja). Memang bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri itu akan sibuk memuja artis-artis yang datang.

Malah ada yang lebai mau pinjam Erdogan setahun. Mbahmu. Mbok kabeh perdana menteri Uni Eropa kon magang gubernur sesasi wae neng kene, rak ngelu ndase. Jarang banget kok kita dapat pemerintah yang membantu rakyatnya, sesekali aja dapat yang kayak kang Emil, kebanyakannya morotin macem-macem dan bawa-bawa pengaruh modernitas yang aneh. Merusak tatanan guyup yang ada. Dan dasarnya kita itu emang susah diatur karena udah bisa mengatur kehidupan sendiri dengan metode kebudayaan yang ada. Lah mereka yang dari UE ngelu lihat ketidakteraturan dalam keteraturan ini.

Mari kagum dengan cara yang elegan, ora nggumunan campur nggilani. Mari menghormati Erdogan, Mursi, Ismail Haniya dengan cara seperti Muhammad Natsir, Wahid Hasyim menghormati Hassan al Banna, Sayyid Qutb, dan Said Hawwa di masa lalu. Penghormatan yang bermartabat, bukan ngefans koplak kayak penggila artis Korea.

Mari hidup di realita Indonesia. Jangan tinggal di sini tapi mindsetnya Saudi, Amrik, Jepang, Korea. Lha Jawamu, Sundamu, Maduramu, Bugismu, Melayumu ki mbok anggep apa Dul?

Surakarta, 3 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.