Suatu saat dalam sebuah kajian, guru kami menasihati. “Mas, kalau bacaannya baru buku2 terjemahan ya berarti sadari bahwa ada potensi bias dari pengertian penulis aslinya”. Nah, sekarang lebih lucu lagi. Baca postingan dengan bahasa sendiri saja banyak yang gagal paham. Di situlah akhirnya terkadang kita jumpai ayat2 Quran dan hadits direndahkan untuk bahan lempar-lemparan debat komentar di facebook dilengkapi dengan versi terjemahannya.
Jadi dalam belajar itu ada kerendahatian yang mesti dijaga. Jika ilmu alat kita masih jauh dari cukup, yo ora sah kaya satpame Gusti Allah. Bahwa kita meyakini ilmu yang kita pelajari itu yo sudah menjadi konsekuensinya orang belajar. Ning ga usah dijejelke ndik kancamu, nek wegah njet disesat-sesatke, karena dia juga sedang berproses belajar.
Tapi yang lebih cilaka lagi, kalau iklim belajar hilang diganti iklim dagang. Akhirnya di masjid pun tak jarang ada penjualan ibadah untuk ditukar dengan rezeki materi, bahkan ada bisnis modal dikit dapat kembalian banyak. Seandainya Rasulullah menyamar hadir di tengah-tengah manusia modern hari ini, alangkah sedihnya beliau melihat risalah agungnya jadi komoditas bisnis.
Gunungkidul, 19 Juli 2015