Mari tafakkur, di suasana perjuangan pembebasan tanah-tanah Romawi dan Persia, khalifah Umar, Utsman, dan Ali dibunuh di tengah-tengah sahabatnya. Aku justru berpikir, inilah pemimpin yang benar-benar gentle, tak butuh pasukan pengawal khusus, dan di sana ada masyarakat yang hidup tanpa prasangka buruk. Sehingga Abu Lu’lu dan Ibnu Muljam bisa berkeliaran bebas untuk melancarkan nafsu biadabnya menghabisi para sahabat Nabi yang mulia ini.
Ironis dengan hari ini. Kita semakin celaka karena prasangka kita yang begitu dahsyat. Tanpa bukti yang kuat dan investigasi yang mendalam. Adakah keindahan dari masyarakat yang hidup dengan prasangka dan belenggu opini. Bukankah tak ada bedanya masyarakat semacam ini dengan pemuja takhayul. Pemuja takhayul percaya secara turun temurun, sedangkan pemuja prasangka dan opini percaya dari sumber yang tidak jelas. Hahaha. Absurd sekali memang.
Makanya kalau Cak Nun, sering memace jamaah maiyah yang mengajukan pertanyaan konyol, beliau kadang memakai kalimat, “Kowe aja pekok2 banget dadi uwong”. Hahaha, kita memang mengalami kepekokan massal. Dan kepekokan yang berbahaya adalah dalam cara beragama kita.
Bisakah kita memulai kembali menjadi masyarakat yang hidup saling percaya dan mengedepankan dialog? Karena jika Nabi dahulu membangun pondasi Islam dengan totalitas perang, berapa Ghazwah yang akan beliau lakukan. Cara-cara dakwah damai yang beliau pilih saja, masih membuat beliau 23 kali terjun menjadi panglima perang scr langsung dalam Ghazwah2 itu, apalagi jika untuk menaklukkan jazirah Arab caranya melulu dengan perang. Dan satu hal, pernahkah nabi melukai atau membunuh ketika perang? Buktikan jika pernah, karena orang yang paling celaka adalah yang membunuh nabi atau dibunuh oleh Nabi.
Gunungkidul, 18 Juli 2015