Kita adalah pewaris dari leluhur yang memiliki pendekatan sosial dan kebudayaan dalam menyelesaikan masalah. Makanya kita lihai menyikapi berbagai kerusakan sistemik yang bergejolak dari waktu ke waktu, sekalipun diperintah oleh pemerintah yang tidak jelas sejak zaman kolonial.

Tapi entah mengapa sekarang kita mulai suka mendewa-dewakan institusi negara baik pada urusan pemerintahan, pendidikan, dan keagamaan melebihi batas -batas yang wajar dari nilai manusia. Urusan pemerintahan, pokoknya demokrasi pasti benar. Urusan pendidikan, pokoknya sekolah pasti benar. Urusan keagamaan, MUI pasti benar.

Di mana kearifan para waliyullah yang masih diwarisi oleh bangsa ini? Kok sekarang lebih mengandalkan pasal-pasal hukum, ketimbang nilai-nilai moral. Di mana kesadaran individual dari anggota masyarakat dalam membuat keputusan hidup atas berbagai pertimbangannya? Kok sekarang dikit-dikit katanya ini, katanya itu, dan manut.

Dahulu, para ulama itu berfatwa sebagai tanggung jawab atas keilmuannya. Mereka berfatwa karena mereka berijtihad atas sebuah hal yang urgen menyangkut urusan umat. Mereka berfatwa atas nama diri mereka sendiri dan siap mempertanggungjawabkan keputusan ilmiahnya kepada Allah dan umat. Dan menyerahkan kepada penguasa maupun masyarakat untuk mengambilnya atau tidak. Fatwa tidak bernilai apa-apa, jika yang diberi fatwa tidak mengambilnya sebagai bahan pertimbangan dalam membhat keputusan/kebijakan. Tapi fatwa ini akan membuat para ulama tenang karena dia telah menunaikan tanggung jawabnya.

Nah, sekarang kok opini publik jadi aneh. Seolah-olah lembaga pemerintah yang satu ini selalu benar. Padahal tidak semua masyarakat mengakuinya, karena lembaga itu dulu didirikan pemerintah. Bahkan Buya Hamka memilih mundur dari pada bertahan membuat fatwa-fatwa aneh. Lembaga semacam itu lebih tepatnya mengeluarkan rekomendasi, bukan fatwa. Karena fatwa itu keputusan keilmuan seorang individu yang dikenal arif dalam ilmu. Jika kebetulan keputusan-keputusan para individu yang berilmu itu searah barulah kita sebut fatwa bersama (ijma’).

Yang namanya ijma’ ulama itu, bukan ulamanya ngumpul mbahas sebuah masalah lalu diputuskan bagaimana baiknya, tetapi para ulama secara mandiri membuat pertimbangan atas sesuatu hal berdasarkan keilmuan mereka. Di kemudian hari, barulah orang mendapati ternyata para ahli ilmu ini memiliki pendapat yang sama atau hampir sama atas sesuatu hal. Maka disebutlah sebagai ijma’ ulama.

Lha sekarang kok aneh. Fatwa itu menyangkut produk keilmuan (jika merujuk pada realitas sejarah ulama umat Islam). Kalau hasil musyawarah, ya namanya bukan fatwa dong, rekomendasi kek atau apa gitu. Yang jelas ia tidak bisa disejajarkan dengan fatwa-fatwa para ulama zaman dahulu. Emang para ulama besar itu tukang rapat dan sidang kayak sekarang?

Pertanyaannya sederhana, sepanjang hidup, Imam Syafi’i dan yang lain itu apa cuma nulis kitab soal-soal fikih saja? Jika sekarang kita hanya mengenal beliau soal fikihnya saja, apa lantas beliau tidak ahli dalam banyak bidang lainnya. Apa seorang ahli fikih itu hanya berkutat pada dalil dan hukum agama? Bukankah ahli fikih adalah orang yang harus paling banyak tahu apa saja, karena dia harus membuat berbagai pertimbangan atas hal-hal yang menyangkut urusan umat.

Jika sekarang kita hanya mengambil secuil ilmu darinya lalu ribut kesana kemari, apa ndak lebih bermanfaat kalau kita mengambil sebanyak mungkin ilmu-ilmu yang dia wariskan dari ratusan kitab lainnya yang sekarang belum sepopuler al Umm. Jangan-jangan juga ga kenal al Umm?

Cara pandang kita dalam melihat sosok ahli ilmu leluhur kita akan membentuk cara berpikir kita dalam belajar dan menimba ilmu. Jika mereka hanya kita pandang sebagai air kolam, ya pola pikir kita memang seanalogi dengan pengurus empang. Tapi kalau kita memandang mereka seperti samudera, kita bisa menjadi nelayan-nelayan tangguh yang siap menyibak keganasannya untuk mengambil manfaat yang besar darinya.

Juwiring, 26 Januari 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.