Yang membuat saya hijrah dari kota kecil ke desa yang berada di tepian Bengawan Solo karena di sini saya belajar tentang keberanian, berpikir jujur, dan hidup dengan sederhana. Di komunitas orang-orang “gila” ini, kami belajar saling percaya untuk menjaga nilai-nilai kehidupan yang diyakini. Jika ada yang “nyampah” dari kami, nanti pasti akan tersingkir dengan sendirinya, pada saatnya.
Di desa yang kutinggali kini, tidak berarti tenang dan asri seperti impiandesa-desa masa lalu. Di desa ini, ada rumah yang hampir ambruk, sementara di tetangga RT-nya ada rumah anggota DPRD dan pejabat kabupaten. Di desa ini, aliran-aliran keagamaan bertarung lebih radikal ketimbang desa-desa abangan. Saling mengkafirkan dan ngrasani di pengajian-pengajian di masjid itu hal biasa. Bagi saya, sebagai orang yang memilih tampil sebagai orang bego (dan memang saya masih bodoh) mudah memasuki ke masjid-masjid itu untuk melihat orang-orang “sholeh” yang saling nggayemi daging saudara-saudaranya.
Di desa ini, polemik pemerintahan yang paling absurd saya dapati. Bagaimana praktek korupsi yang sangat mengerikan terjadi. Jika pejabat hanya korupsi sekian persen, di sini korupsi 100 % (tapi nanti dibagi-bagikan) pernah terjadi sekian tahun silam. Di desa ini, orang yang jujur, siap-siap dihajar dengan disewakan preman, disomasi pengacara, hingga digeruduk warga. Meski jika sang preman diajak dialog, pengacaranya ditantang ke pengadilan, hingga warga diajak debat pembuktian akhirnya cuma pating piyek kayak anak ayam. Ya begitulah, orang desa yang agak rancu dan teracuni aroma kehancuran peradaban.
Tapi dari keteladanan guru kami di sini, syaikh kami, kami diajari untuk straight forward. Tetap melaju dengan kebaikan, tidak meladeni para cecunguk murahan semacam itu. Tetap berharap kebaikan pada mereka yang masih mau. Tetap memberikan apa yang bisa diberikan. Karena sebenarnya ada banyak mata dan telinga tersebunyi yang mendengarkan dan memperhatikan. Hanya mereka masih ketakutan untuk mengikuti pilihan dari kehidupan yang sebenarnya juga biasa-biasa ini. Kehidupan kami normalnya manusia, santai dan penuh kegembiraan. Hanya kami memang serius memikirkan hal-hal yang tidak umum dipikirkan orang biasa.
Saya sendiri berterima kasih, ketika pada masa-masa puncak di organisasi kampus, Allah perjumpakan dengan tokoh-tokoh besar filantropis yang berbicara tentang ketulusan dan pengabdian hidup. Paling berkesan adalah berjumpa dengan sosok seperti Mbah Nun yang memberi inspirasi dasar tentang tauhid di kehidupan ini di saat tipuan-tipuan hidup dan kekejaman yang berjalan dalam senyap terus mengepung kehidupan.
Saya sedang hijrah ke Thaif, dan semoga bisa menyelesaikan kisah seperti Rasulullah, meskipun dilempari batu, tetap santai dan memberikan harapan kebaikan. Karena beliaulah sebaik-baik teladan untuk kita.
Juwiring, 2 April 2016