Belajar dari pilpres 2014, kegethingan yang tidak segera di-move on-i membuat setiap hal dari yang digethingi terlihat buruk sekali. Hingga hari ini proses pengkambinghitaman terus berlanjut tanpa henti. Sebagai mantan prabower, disitu aku jadi merinding.
Status prabower maupun jokower hanya berlaku dari masa kampanye hingga sidang MK, bar kuwi yo uwis bubar kudune. Nek ngritik pemerintah posisine sebagai rakyat (yen ngakoni presiden lho ya) utawa tetangga negara (nek wis gawe smcm negara dewe). Jadi struktur kritikane tidak lagi mengorek soal2 black campaign-nya. Nek pas programe apik n maslahat yo dijempoli dong.
Tapi memang mau bagaimana, logika-logika ndek Indonesia ki cen akeh ora cethane. Haji ki kudune status sejak ihram hingga tahallul, kok tekan Indonesia ijik disebut haji, piye sih. Nek terpaksa disebut gelar yo kudune PH (pernah haji). Nek kudu dikeki gelar, berarti wong sholat yo digelari sisan Musholliin, bahkan pas syahadat yo dadi Syahiidun, ngeluarin zakat dadi Muzakki, gawene puasa dari Shooimun . Dadi kabeh uwong dikasih gelar dadine H. Mz. Sh. Ms. Sy. Fulan ngunu mesthi apik. Duowwwuuuu
Akhirnya, jika hari ini ada banyak tuduhan, anggapan, hingga segala bentuk aran-aran tentang diriku yang tidak pernah ditabayyunkan ke aku, maka itu#BukanUrusanSaya. Sebagaimana aku berjuang agar tidak ngrasani personal dan cari gara-gara sing ora-ora. Dan memang hidup yang paling nikmat itu saat marahnya singkat dan penuh kemaafan. Para sesepuh yang sudah semeleh biasanya telah mencapai maqom ini sehingga lisan mereka penuh doa dan nasihat bijak. Bukan cacian, apalagi celaan.
Surakarta, 6 Juli 2015