Jika Ali yang hendak menghabisi lawan duelnya di sebuah peperangan justru urung gara-gara lawannya meludahinya, karena khawatir membunuhnya karena kemarahan, tak bisakah disimpulkan secara sederhana bahwa peperangan yang diajarkan Rasulullah adalah saat manusia sudah berhasil mengekang nafsunya, salah satunya marah.

Saya mencoba menangkap hal ini dari informasi dari beberapa mujahidin di negara-negara yang direcokin oleh Amrik dkk. Beberapa mujahidin tetap memperlakukan musuh yang tertawan dengan sangat manusiawi. Saya berhusnudzan mereka berhasil berperang tidak dengan kemarahan, tetapi karena tugas mulia memelihara kemuliaan agama dan tanah airnya, tanpa tendensi buruk di hati mereka.

Yang jadi bikin mikir itu kita yang di sini. Kalau sekarang dikit-dikit emosi, mencak-mencak, dan bawa-bawa perasaan, padahal baru baca status Facebook, apalagi kalau kita beneran pegang senjata. Dikit-dikit mengejek, alangkah naifnya jika kita sampai berperang. Makanya di negeri ini perang harus di hindari karena tak ada jaminan kita mampu mengendalikan hati dan pikiran kita dari kebiasaan buruk itu. Wong untuk mengendalikan agar tidak ghibah di belakang aja masih banyak yang tidak bisa, bahkan ada yang membahasnya di kajian segala dengan dipenuhi aroma kedengkian. Ngeriii.

Makanya jangan dikit-dikit teriak perang kalau di dalam dada kita masih dipenuhi amarah. Kasihanilah diri kita yang lemah ini. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan amarah?

Surakarta, 4 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.