Negara dipakai buat rebutan kepentingan pragmatis, partai juga, lalu baru-baru ini ormas Islam juga, dan saya khawatir jangan-jangan masjid pun jadi ajang perebutan ini. Masjid yang harusnya didirikan untuk menyatukan aspirasi umat, untuk musyawarah, untuk belajar, untuk menggalang bantuan sosial, untuk menyerukan dakwah dan jihad sekarang dilabeli jadi masjidnya aliran A, yang bukan Islam aliran A jangan shalat di sini, jangan shalawatan, jangan musyawarah, jangan….jangan…..jangan.

Masjid dibangun semakin banyak, karena aliran Islam juga makin banyak. Kalau kalah merebut kuasa, bangun masjid baru lagi. Makin megah laksana gereja. Masjidnya makin horor karena cuma buat ritual shalat. Bahkan kalau ada kajian, ditanya dulu kajian agama atau bukan (maksude piye iki), kalau bukan kajian agama dilarang. Kalau ada kumpul-kumpul diskusi seni, sosial, dan kebudayaan, buru-buru diusir karena bukan perkara agama. Maka masjid umat Islam mirip kuil dan diisi kaum-kaum pendeta yang tampil seakan lebih suci dari umat Islam biasa. Seperti inikah model masyarakat Islam yang dicontohkan Rasulullah?

Padahal masjid adalah icon sosial persatuan kaum muslimin. Negara bubar sak karepmu, penguasa gonta-ganti sak karepmu, parpol ajur yo ben. Selama masjid berdiri, umat Islam bersatu shalat berjamaah, bermajelis dan bermusyawarah walau diliputi perbedaan, maka kekuatan umat Islam akan kokoh. Masjid adalah jam harian masyarakat dengan alarm shalat 5 waktunya, pengontrol wilayah untuk memastika mana yang belum tersentuh dakwah, mana yang belum mendapatkan bantuan makanan dan kesehatan. Itulah fungsi masjid seharusnya jika kita masih setia pada teladan masyarakat Madinah. Madinah bukan negara modern seperti dalam ilusi orang-orang Khilafahis. Madinah adalah desa asri yang masyarakatnya bersahaja dan berakhlak. Di tengah mereka satu masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat yang menampung segala macam perbedaan untuk tunduk pada satu ketaatan pada Allah dan bernaung dalam kemuliaan Islam.

Ini hanyalah kegelisahan seorang marbot masjid yang tak berkutik dengan status kemarbotannya melihat masjid-masjid yang sudah mulai menjadi seperti gereja dan candi. Apalagi baru saja membaca berita tentang perebutan kekuasaan ketakmiran masjid dengan kebiasaan saling menyingkirkan dan melarang kegiatan. Jika toleransi dalam tubuh satu umat saja mulai retak sedemikian, tak takutkah bila kita diazab oleh Allah karena tidak mampu berlapang dada pada saudara seiman.

Surakarta, 3 September 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.