Pernahkah kita berpikir tentang perasaan para al-musnid (orang2 yg meriwayatkan dan menjaga hadits dari sejak Rasulullah secara bersambung hingga hari ini dalam ingatan dan akhlak mereka) melihat generasi sekarang yang lemparan2 hadits buat bahan debat?

Bahkan hingga usia 25 tahun ini aku saja belum bisa bertemu langsung seorang al-musnid pun, padahal pengin banget iso ketemu ra ketan karo beliau2 yang sanggupnya menjaga ratusan hadits saja. Mungkin hari ini jumlah mereka terus berkurang dan rekor hafalan mereka tak ada yang spektakuler seperti para muhaddits. Karena suatu hal wajar, bahwa ilmu dari sang guru tidak akan mampu diserap semua oleh sang murid. Apalagi dengan situasi dunia yang kacau seperti sekarang.

Al Quran dan Hadits itu bukan perkataan biasa, maka jangan buat uncal-uncalan. Mbok ya sudah dipelajari dulu yang matang, keluarkan oncek2ane saja, jangan haditsnya yang buat bandem2an turut Facebook yen kita bukan siapa2. Sinau fikih, lakoni wae, yen kancane takon diwuruki wae ning ra usah ndakwa2 sing paling bener, gek liyane salah. Ketika ilmu dibanding2kan oleh orang2 yang bukan ahlinya, maka yang timbul hanyalah kesombongan dan pertengkaran.

Dan logiskah orang2 sekarang mengaku lebih tahu dari para imam madzhab sehingga berani-beraninya baca hadits terjemahan lalu beristinbath utk berdebat dan mendebat orang lain, bahkan membodoh-bodohkannya. Baca aja utk sendiri sembari mencari guru yang tepat, terus dievaluasi jika dapat pemahaman baru n diajarkan ke temannya tanpa hrs bikin klaim. Sing penting laku sinaune ora kendhat. Ngasi matia wae, ra bakal rampung.

Surakarta, 4 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.