DAKWAH DAN KITA
Saat pernah diwejang tentang menurunnya jumlah populasi umat Islam (berdasarkan data lapangan) di sebuah kota X dengan hal yang seolah-olah gagah di depan mata dengan berita-berita yang tampak keren tentang kehidupan umat Islsm kini di kota yang sama, di situ saya merinding.
Mengapa? Jangan-jangan umat Islam sekarang ini memang lebih suka jadi kaum selebrasionis ketimbang jadi pelaku sunyi dan penuntut ilmu. Dan konsekuensi perilaku selebrasi ini jelas adalah pertanda kerapuhan besar, sekalipun jumlah umat Islam sak thekruk akehe.
Maka sejak itu saya jadi agak “nganu” saat mendengar ceramah yang isinya propaganda dan bernuansa paranoid, baik oleh pemurtadan maupun penyesatan. Mengapa, mayoritas para penyampai berita itu tidak berbicara dengan data dan metode riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasilnya mudah ditebak, umat Islam yang ikut-ikutan paranoid dan muslim medsos yang hobi main hashtag-hashtagan anti ini anti itu. Giliran ditanya soal realita, nggak tahu. Lho piye to?
Eksklusivitas itu pun tampaknya tetap dinikmati sebagian aktivis hingga hari ini. Saya tidak berani menggeneralisir. Cuma mungkin pertanyaan sepele apakah sepanjang berdakwah selama ini udah pernah ketemu orang-orang ateis, gay, lesbian, hingga para preman yang hobi mendem atau bahkan tokoh agama lain untuk dikenalkan dengan indahnya Islam? Biasanya langsung bungkam mak klakep setelah sebelumnya bicara soal ideologi hingga kh*****h. Lha piye meh madeg, umat Islam makin banyak yang rapuh, congkrah, hingga ada yang murtad.
Beruntung kaum mualaf yang dipimpin ko Steven Indra Wibowo dan Hanny Kristianto dan sebagian kecil asatidz di daerah Islam minoritas terua berjuang di bawah ancaman dan tekanan. Memang pahala itu ga akan ke mana, ia akan menjadi anugerah bagi siapa pun yang berjuang di jalan-Nya.
Saya? Saya hanya jurnalis abal-abal yang mencoba brrbagi kisah pengalaman belajar selama ini. Barangkali Anda juga berpikiran sama dengan saya.
#WeekEndNote
Surakarta, 4 Juli 2015