Shirah-shirah yang pernah saya baca kok menunjukkan bahwa kemenangan perang kaum muslimin adalah karena mereka tidak meletakkan musuh di hadapannya sebagai musuh utamanya dan membunuh sebagai tujuannya. Musuh utamanya adalah hawa nafsu, dan tujuan perangnya adalah fokus pada kesyahidannya, diakui Allah sebagai syuhada baik ditandai dengan kematiannya atau melihat dakwah Islam terus meluas, bukan matinya musuh.
Maka perang-perang di era Rasulullah itu minim pembunuhan karena memang bukan itu fokusnya. Dan sependek pengetahuan saya, Rasulullah tidak pernah melakukan pembunuhan selama memimpin perang. Bahkan pembunuhan massal di Madinah hanya pernah terjadi saat salah satu kabilah Yahudi mengkhianati piagam Madinah, dan oleh rapat para kepala kabilah salah satu pemimpin kaum Anshar ditunjuk menjadi hakim. Dialah yang memutuskan hukuman untuk pengkhianat itu, bukan Rasulullah.
Jadi ini perang yang aneh karena lawan perangnya memang tidak dianggap sebagai siapa-siapa. Tentara jenis apa coba yang jenis perangnya semacam ini. Perang yang fokusnya adalah melawan nafsunya sendiri dan tujuannya meraih kesyahidan, berarti secara hakikat musuhnya kan bukan faktor terpenting. Makanya 300 orang vs 1.000 orang, 3.000 orang vs 10.000 orang, bahkan 25.000 orang vs 200.000 orang dianggap para ilmuwan Barat sebagai dongeng dan mustahil. Lha kalau kita yang percaya Quran, ya suka-suka Allah memenangkan yang jumlahnya sedikit. Yo sakkarepe Allah to, hak prerogatif Dia dong.
Saat Amr bin Ash merebut Yerusalem, kan mereka fokus pada nubuwah Rasulullah. Saat mereka menaklukkan kota San’a, Damaskus, Persia, semua kan sudah dinubuwahkan. Jadi perjuangan umat Islam di 50 tahun pertama itu sukses besar baik dalam kekuasaan dan dakwah Islam (belum ruwet dg berbagai polemik pemikiran) karena mereka masih dibimbing dengan visi nubuwah yang tegas. Lalu setelah era Muluk/Daulah mulai ujian kekuasaan terjadi sehingga polemik yang berakhir bunuh2an di lingkaran kekuasaan adalah biasa biasa. Periksa aja sejarah pergantian kekuasaan pasca Muawiyah bin Abi Sufyan. Beruntung para ulama menjadi penjaga agar umat tidak berpecah belah.
Maka setelah Yerusalem berhasil dikuasai Perancis, butuh waktu hampir satu abad hingga lahirnya pasukan besar Shalahuddin al-Ayyubi. Pelajari karakter beliau, fokus beliau rak ya mewujudkan janji nubuwah (kan disabdakan bahwa Yerusalem akan ditaklukkan tiga kali). Maka setelah penaklukan kedua, Shalahuddin tidak tertarik mengalahkan Baghdad dan menjadi amirul mukminin, padahal kekuasaannya jauh lebih luas dan pasukannya lebih besar dibandingkan dinasti Abbasiyah yang cuma mirip negara kota.
Begitu pula saat penaklukan Konstantinopel, Sultan Muhammad al Fatih fokus pada janji nubuwah. Saat kota itu terkuasai, kekuasaan Turki sudah luas sekali, tapi beliau tidak menggulingkan kekhalifahan Baghdad (saat itu Turki Utsmani masih berstatus sebagai subordinat kekhalifahan). Bahkan saat beliau berniat menaklukkan Roma dan tinggal melakukan serangan umum, Allah mewafatkannya karena menurut janji nubuwah kota Romawi Barat tersebut akan ditaklukkan secara damai dengan bacaan tahlil dan takbir.
Jadi kok saya curiga kita umat Islam itu hari ini kalah terus ya karena perangnya salah. Kita emosional dan maunya head to head sama lawan. Luapan emosi dan hal-hal pragmatis adalah sajian hari-hari kita to. Sampai kita lupa, janji nubuwah apa yang masih tersisa, penaklukan Yerusalem ketiga dan penaklukan Roma. Lihat lagi syarat dan ketentuan berlakunya, persatuan umat Islam kan. Lha nek sesama umat Islam we poyok2an yo opo rek. Belum lagi pating krucil head to head dengan motif kebencian, bukan karena memerangi hawa nafsu sendiri dan fokus pada kesyahidan. Piye melawan nafsu, wong hari-harinya diliputi kebencian tanpa alasan dan ilmu yang memadai.
Sekarang masuk medan baru di era modern, demokrasi, didukung media sosial. Akhire bingung piye perange, akhire sembarang gemruduk ora nggenah. Jadi kalau mau perang musuhe ra jelas, tur lali yen musuh utama ki yo nafsune dewe-dewe. Apalagi orientasine, masih Allah 100% apa ya cuma ngapusi bawa-bawa namanya. Akhirnya sampai di titik ini, aku cuma bilang pada diriku, MASIH JAUH, MASIH BELUM APA-APA KAMU. LAGI ISO MELEK, JIK NGUCEK MATA.
Tapi karena dua janji nubuwah masih tersisa, yo masak kita putus asa. Wis lah saiki ora sah sembarang dikomentari, isu2 ra usah ditanggapi yen dudu kapasitase. Ngko ndak saya ra cetha.
#RenunganMalam
Surakarta, 9 Juni 2015