Kesadaran kemajemukan (pluralitas) itu lahir dari akal sehat yang memandang bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya dalam berbagai keadaan dan ukurannya masing-masing. Sehingga perbedaan keyakinan dan kebudayaan bukanlah masalah selama masing-masing tumbuh menjadi manusia wajar yang memelihara rasa kemanusiaannya.
Sedangkan pluralisme adalah ideologi rekayasa sosial yang lahir setelah masyarakat dihancurkan pola pikirnya sehingga tidak sadar budaya dan alamnya, tidak terhubung dengan leluhurnya, dan ateis karena menuhankan materi serta tidak mengakui eksistensi Tuhan dan agama. Dari kondisi masyarakat yang hancur seperti itu, ditanamkanlah rekayasa kemajemukan agar masyarakat menghargai perbedaan secara radikal, misalnya menghormati manusia yang berlaku LGBT, menghormati manusia yang menista manusia lainnya, menista ajaran agama, dll.
Jadi konsep pluralitas dan pluralisme adalah dua hal yang berbeda. Hari ini, pluralismelah yang dijejalkan ke otak-otak orang modern agar menghargai perbedaan, yaitu menghargai manusia-manusia yang bertingkah tidak lagi layaknya manusia. Dengan pluralisme, manusia digiring untuk pekok karena menghargai sesuatu yang bahkan seandainya hewan diperintahkan demikian pun tidak akan sudi.
Sayangnya, sebagian umat Islam juga tersesat dalam perilaku buasnya. Atas nama perlawanan kepada pluralisme, mereka gagal menangkap akar masalahnya, yaitu nalar yang rusak. Nalar masyarakat yang rusak mereka lawan dengan kemarahan dan caci maki. Sedangkan kemarahan dan caci maki adalah penyakit manusia yang lainnya juga. Jadi sebenarnya ya sama saja, orang gila ketemu orang sakit yang sedang beradu tanding. Tidak ada yang layak untuk menang.
Juwiring, 7 September 2017