Saya lebih setuju hak asasi manusia itu diganti dengan kewajiban asasi manusia. Sebagai manusia yang percaya adanya Allah, kehidupan ini 100 % milik-Nya, jadi dia owner mutlak. Makanya aneh, mosok owner punya kewajiban memenuhi hak asasi kita.
Maka dari itu, lebih tepat kalau kitalah yang seutuhnya punya kewajiban asasi. Dari konsep berpikir yang seperti ini kita akan memahami betapa Rahman dan Rahimnya Allah. Sebagai owner kehidupan yang mutlak, Allah berhak kan menciptakan manusia lalu ditugaskan njengking seumur hidup. Atau kita ditugaskan untuk ngusungi 1000 karung per hari seumur hidup tanpa tahu isinya. Boleh-boleh saja kan. Wong Dia super boss,
Tapi ternyata Allah tidak menciptakan manusia dengan tugas seperti itu. Dia beri manusia akal agar bisa memahami tugasnya sendiri. Masih ditambah lagi diutus para Nabi dan Rasul, bahkan juga dengan suhuf dan kitab-kitabnya. Itu tandanya Allah membuat pengaman berlapis. Artinya jika suatu saat akal masih kesulitan mengenali tugas sebagai Abdullah dan Khalifatullah, maka tanyalah pada para Nabi dan Rasul atau penerusnya, bukalah kitab-Nya.
Jadi sangat aneh jika orang tidak lagi percaya dengan akalnya dengan alasan itu menyesatkan. Kok bisa begitu ya? Lha memahami ayat Allah yang ada di alam semesta maupun yang tersurat di al Quran itu kan pintu masuknya lewat akal. Dan yang aneh lagi, tradisi membenci dan bermusuhan kok sekarang sangat populer ya. Entah apa motifnya, menurut saya aneh. Benci kok betah. Mbuh piye kuwi nalare.
Dengan memahami kewajiban asasi manusia, maka tidak ada satu hak mutlak pun yang melekat pada kita. Kita punya tubuh, statusnya pinjam pakai. Kita punya penglihatan, pendengaran, alat gerak, dan sebagainya statusnya ya pinjam pakai. Wong kita makan ya cuma kebagian nikmatnya aja kok, habis itu yang memproses adalah tubuh dengan pantauan malaikat-Nya. Bahkan orang bersenggama itu, kan ya cuma kebagian nikmatnya aja, nanti jadi anak atau tidak kan itu mekanismenya Allah yang bekerja.
Jika kita kembangkan lagi. Kehidupan itu terdiri atas persimpangan kewajiban, bukan hak. Misalnya, kita wajib menjaga kehidupan manusia seperti memelihara fakir miskin, tidak mengobarkan perang, tidak memproduksi senjata pemusnah massal, bertani dan berternak untuk menyediakan makanan, karena itu tugas dari Allah, bukan karena manusia punya hak hidup. Kita wajib mengamankan harta benda manusia lainnya dengan tidak mencuri, merampok, dan korupsi, karena itu tugas dari Allah, bukan karena manusia punya hak atas rasa aman. Pokoknya dalam banyak hal, kita itu punya kewajiban asasi, bukan hak asasi.
Sehingga, apa yang sekarang kita sebut hak itu, kalaupun disebut hak ya namanya hak sementara atau hak pinjam pakai. Kalau manusia menjalankan kewajiban untuk mengamankan kehidupan manusia lainnya, hak pinjaman untuk hidup terpenuhi. Tapi coba lihat di Timur Tengah ketika elit-elit kekuasaan tidak menjalankan kewajiban asasinya, apakah hak pakai hidup masyarakat sana terpenuhi?
Makanya, kalau ada yang mau LGBT-an atas nama hak asasi manusia, coba tanya dulu pada hati nurani, apakah Allah menugaskan begitu? Kalau alasannya cuma karena menuruti kebebasan, kenapa cuma maunya dengan sesama jenis, mbok sekalian kawini itu tetumbuhan, binatang, batu, bahkan api sekalian. Saya sangat heran dengan lompatan pemikiran di zaman modern ini yang katanya berkemajuan tapi sebenarnya sangat tidak masuk akal bagi kemaslahatan hidup.
Akal adalah pintu persambungan kita memahami tugas-tugas dari Allah. Hati adalah tempat peneguhan agar apa-apa yang kita terima dari Allah diyakini dengan mantap, dan itulah yang kita pahami sebagai iman. Lha kalau sekarang kok malah lebih percaya sama pendapat orang, sampai dibela-belain bertengkar tapi tidak lagi mengasah ketajaman akalnya, apa kita layak menyebut diri sebagai manusia. Apa bedanya dengan robot yang bisanya menyerap input dan menjalankannya secara mekanis.
Jadi masihkah akan terus beriman pada pemahaman HAM yang berlaku seperti saat ini? Kalau iya, jane yang kita jadikan Tuhan itu siapa, diri kita sendiri atau Dia?
Ngawen, 4 Juli 2017