Pasca amandemen UUD 1945, negara ini berdasarkan atas hukum. Adil atau tidak adil tidak ada urusan, yang penting berdasarkan pasal-pasal hukum yang disusun oleh para politisi kita. Kalau ada orang maling ayam yang penting dihukum, tanpa diinvestigasi secara komprehensif alasan mendasarnya maling ayam. Sementara kalau ada koruptor atau bandar narkoba minta pengurangan hukuman, dikabulkan dengan alasan ada kewenangan untuk itu, tanpa peduli bahwa korupsi dan jualan narkoba itu dampaknya sangat serius.

Sebagaimana fenomena orang beragama sekarang yang mengedepankan fikih tanpa pertimbangan akhlak. Sekarang dikit-dikit pakai dalil dan segala hal diperdebatkan tanpa peduli konteks ruang dan waktu, tanpa mengerti prioritas amal menurut al Quran. Pokoknya merasa paling benar sendiri, dan siapa pun yang tidak sependapat berarti sesat dan “bukan golongan kami”. Padahal rusaknya kehidupan umat itu karena kehancuran adab dan akhlak umat, terutama dari kalangan ulama dan penguasanya, bukan karena soal fikihnya. Jumlah orang pintarnya umat Islam itu makin banyak, buktinya itu kalau pada debat dalil hebatnya ga ketulungan. Tapi ya gitu deh, lihat saja akhlak dan adabnya, luar biasa ndlosornya.

Inilah fenomena baru, supremasi hukum, bukan lagi supremasi keadilan. Hukum diyakini lebih tinggi dari nilai keadilan. Makanya kalau ada birokrat diprotes soal aturan-aturan hukum yang tidak masuk akal dan mencederai keadilan, kamu bakal dapat jawaban, “mau bagaimana lagi, aturan dari sononya begitu.” Makanya kalau proporsi anggota DPR dan DPRD kita terlalu banyak jumlah pemburu duitnya ketimbang intelektualnya, ya yang sabar saja nunggu perubahan regulasi negara. Apalagi tiap pemilu sebar duitnya makin kenceng, gombal aja mau ada perbaikan regulasi. Nyanyian kebohongan akan terus bergema.

Kalau pak Jokowi berani membuat dekrit presiden yang salah satu isinya kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen, lalu didukung oleh TNI-Polri dan rakyat Indonesia, mungkin situasi yang sudah bubrah seperti ini menemukan titik terangnya untuk diperbaiki kembali. Tapi apa bisa ya? Gus Dur saja yang levelnya guru bangsa dan cuma membekukan DPR/MPR saja malah didongkel balik. Maklum, negeri ini tidak punya negara lagi, cuma punya pemerintah, itu pun pemerintah yang manutnya sama negeri sono dan sononya lagi.

Juwiring, 16 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.