Sehabis diskusi Nongki (Nongkrong Ilmiah) dengan tema Dakwah Berbasis Riset, saya guyonan singkat dengan mas Andika Saputra, dari semua keruwetan dan kekacauan dakwah Islam saat ini, kayaknya pangkalnya ada pada bahasa. Sekarang kata-kata itu seolah sudah dikavling milik sekelompok orang dan itulah yang membuat kita celaka bersama.
Jadi prioritas dakwah pertama menurut saya adalah pelurusan makna kata agar beres di kepala kita. Sekarang kata “ibadah” sudah mengalami distorsi dari makna yang terkandung dalam al Quran. Jika Anda datang ke masjid untuk shalat maka orang akan menyebut Anda beribadah. Sedangkan jika Anda datang ke kantor saat jam kerja, maka perilaku Anda menurut kebanyakan orang tidak disebut ibadah, tetapi bekerja.
Kemudian kata “amal” juga mengalami penghinaan yang parah. Sekarang lahir istilah kotak amal. Ketika Anda bekerja itu tidak disebut beramal. Ketika Anda mengeluarkan uang untuk sedekah, baru itu disebut dengan amal. Lahir pula istilah konser amal, bazar amal, dan … amal-amal lain yang juga jauh melenceng dari al Quran. Yang paling nelangsa adalah kata “syariat”. Saya tidak tega untuk bercerita tentang kata satu ini, karena takut menyinggung perasaan kita semua.
Diturunkannya Al Quran kepada umat manusia menurut saya adalah menjaga ukuran-ukuran yang telah ditetapkan Allah sejak awal penciptaan kehidupan. Meskipun sekilas isinya kisah dan beberapa aturan hukum, tapi di dalamnya terkandung berbagai patokan ideal kehidupan yang sudah Allah tetapkan.
Itulah mengapa dalam urusan bahasa al Quran sangat berperan penting menjaga bahasa Arab. Seandainya tidak ada al Quran, dengan realitas orang Arab zaman sekarang yang suka berperang seperti itu pasti bahasa Arab mengalami perubahan besar-besaran karena masing-masing pihak pasti akan membangun identitas bahasa Arab-nya sendiri-sendiri. Tapi dengan adanya al Quran, bahasa Arab punya standar yang membuatnya tetap bertahan selama berabad-abad hingga kini.
Tidak hanya bahasa Arab, al Quran memelihara standar kehidupan manusia, berdasarkan ungkapan yang ada dalam al Quran. Makanya saya tidak sepakat dengan mereka yang membatasi penafsiran al Quran hanya menggunakan pendekatan teks. Bagaimana pun ungkapan Allah dalam al Quran adalah metodologi kehidupan yang seandainya digali tidak ada habisnya. Jika Allah bercerita begini begitu, tidak mungkin maksudnya hanya sebatas itu. Pasti terkandung rahasia Allah yang lainnya.
Apalagi dalam al Quran beberapa ayat berbunyi “sesungguhnya kitab al Quran ini dapat menjelaskan segala sesuatu”. Artinya jika kita menyanding al Quran tapi kok tidak paham atas berbagai peristiwa dalam kehidupan artinya ada software diri kita yang gagal menginterpretasi kandungan al Quran. Bahasa sederhananya, kitalah yang pekok sehingga tidak bisa memahami masalah dengan landasan al Quran. Anehnya, sekarang sedang terjadi gerakan pembodohan diri dengan konsep anti mikir dalam beragama.
Dan jika mau berlapang dada, ormas-ormas Islam saat ini di sisi lain membuat distorsi bahasa menjadi semakin bertambah. Sekarang ketika disebut kata al Bustanu, maka Anda ingatnya Muhammadiyah. Disebut kata ar Raudhah, maka Anda ingatnya NU. Disebut kata Khilafah, maka Anda ingatnya HTI. Disebut kata Ikhwan, ingatnya Tarbiyah-PKS. Bahkan mungkin sekarang disebut kata hadits, akan lebih terasosiasi pada Salafi dan yang sejenis. Disebut kata tafsir, mungkin juga akan lebih terasosiasi dengan MTA. Begitulah nasib kata-kata hari ini, ini mirip rebutan warisan tanah setelah pemiliknya meninggal dunia.
Itulah mengapa ada ungkapan bahwa untuk menjajah sebuah bangsa maka kuasailah otoritas bahasanya, kendalikan opini dan pola pikir mereka, maka selebihnya Anda tinggal panen kemenangan demi kemenangan. Benar juga, karena masyarakat yang tidak memegangi bahasanya, pasti juga tidak punya komitmen pada nilai leluhurnya dan tidak menjaga kebudayaannya. Masyarakat yang tidak memiliki kemandirian budaya, pasti tidak memiliki kemandirian ekonomi, politik, dan turunannya. Artinya apa, kamu tinggal jualan apa saja mereka pasti mau. Termasuk jualan cuilan-cuilan agama sekalipun.
Itulah mengapa tanggung jawab menjadi orang tua itu pertama-tama adalah mengajarkan bahasa, logika, dan adab bagi anak-anaknya. Jika ketiga hal itu terbentuk, anak diumbar berkelana di rimba kehidupan, sambil didoakan dari kejauhan insya Allah akan terbentuk kepribadiannya sesuatu tujuan Allah menciptakannya. Tapi siapa yang hari ini peduli dengan bahasa (sebagai bahasa, bukan sekedar alat komunikasi saja), logika, dan adab? Para ustadz seleb yang terkenal itu apa punya perhatian pada tiga aspek mendasar pendidikan ini? Pemerintah? Politisi? Hahaha
Akhirnya saya cuma bisa istighfar dan sujud. Betapa saya terlahir di zaman yang sebenarnya sama seperti zaman-zaman kegelapan sebelumnya. Maka saya pun bersyukur diberi hidayah sehingga bisa mengenal al Quran, mengaguminya, dan mencoba menggali meskipun masih secethek sekarang. Allah maha kasih, Allah maha cinta. Ditolongnya manusia jelek semacam saya untuk tidak tersesat terlalu jauh.
Juwiring, 1 Oktober 2016