Sebenarnya kerumitan-kerumitan terkait politik, ekonomi, hingga persoalan kolom agama KTP memang terkait erat dengan setingan berpikir umat yang terbalik 180 derajat soal masjid. Sebelum kita memasuki abad kapitalisme seperti sekarang, masjid menjadi titik pusat kebudayaan. Karena menjadi pusat kebudayaan, kekuasaanlah yang menyesuaikan masjid, ekonomi menyesuaikan masjid, termasuk acuan seorang muslim apa bukan tidak perlu KTP, cukup dengan indikator masjid. Karena prioritas masjid lebih utama dari semua properti kebudayaan kala itu.
Barulah ketika kapitalisme berkuasa dan sekularisme mewabah, masjid menjadi sekunder, alias bisa diatur sekehendak mereka. Sekarang kekuasaan bisa bikin masjid sendiri, mall bisa bikin masjid sendiri, termasuk dibuatlah sistem kolom agama KTP, sehingga lahirlah kerumitan dan polemik ketika orang yang kolom agama KTP-nya Islam tapi korupsi, telanjang, bahkan di luar negeri ada artis porno yang dikabarkan masih rajin shalat. Ya, maklum, sekarang syarat jadi orang Islam itu sangat praktis, cukup bersyahadat di depan publik dan unggah foto ke media. Apalagi yang muslim turunan, sudah pasti langsung dapat KTP dengan kolom agama Islam.
Padahal, syahadat itu seharusnya menjadi ikrar pembuka bahwa selanjutnya kita akan menjalani hidup sesuai syariat Islam. Soal meninggal sebagai muslim beneran apa nggak, kita cuma punya keyakinan, keputusannya ada di tangan Allah. Dengan sistem kebudayaan yang berpusat pada masjid, maka iklim ilmu dan ingat pada Allah akan lebih kental menjadi warna kehidupan dari pada menggunjing orang lain. Kan mau muslim maupun non muslim, kalau setiap hari dekat dengan masjid, mosok ga mengalami perbaikan hidup. Syaratnya ya setingan umum pemikiran umat masih seperti dulu, bukan seperti sekarang yang ke masjid untuk mencuri.
Nah, kerumitan masalah ini sudah sangat kompleks. Menurut saya, esensi masjid saat ini sudah hilang, meskipun fisik bangunannya makin bertambah. Untuk skala masjid besar, baru Masjid Jogokaryan yang mulai dibangkitkan kembali. Selebihnya yang masih seperti masjid jaman dulu adalah masjid-masjid pesantren yang integral dengan masyarakat, yang disepuhi para kiai. Kalau pesantren Gontor, itu levelnya sudah negara sendiri yang tidak tergantung pada negara, justru selama ini membantu tegaknya NKRI. Nah kalau kita shalat berjamaah ke masjid, esensinya baru sebatas untuk kepentingan pribadi demi menjaga ritme kehidupan kita agar tidak kafir-kafir amat. Tapi kalau bicara persatuan umat, halah ndobos, wong saling sentimen gitu kok. Termasuk masjid dicaploki dan diklaim masjidnya anu dan anu, dilarang begini begitu.
Jadi masjidmu sekarang sudah jadi masjid beneran seperti dulu atau malah menjadi candi yang hanya didatangi pas shalat saja? Itu pun sepekan sekali saja. Masjid saya masih seperti candi, masih nyicil membangkitkan lagi kayak zaman dulu sebelum TV berkuasa. Karena saya juga baru anak ingusan, apalagi di lingkungan adat Jawa yang kental, maka harus sabar dan sareh menunggu kesempatan itu sambil membuka diskusi ketika momentum Ramadhan.
Solo, 30 September 2016