Dalam tradisi kepemimpinan kerajaan, biasanya yang menjadi kaki tangan raja adalah orang-orang yang dipercayai secara penuh dan dianggap tidak berpotensi untuk memberontak.
Maka ketika sang raja digulingkan atau dibunuh oleh saudara, anak, atau orang lain yang hendak menggantikan posisinya. Orang-orang yang dipercaya raja sebelumnya biasanya juga akan bernasib sama dengan sang raja. Kecuali para pejabat ini “tidak tahu malu” dengan menjilat raja baru atau memang orang yang “sangat sakti” sehingga sang raja baru pikir-pikir untuk menggulingkannya.
Dari proses bunuh membunuh atau guling menggulingkan secara bergantian itu, maka sangat wajar bahwa dalam sistem monarki bisa terjadi dendam turun temurun. Namun perlu digarisbawahi bahwa kejadian semacam itu hanya bisa kita ketahui setelah sekian tahun dituliskan oleh para sejarawan yang mendapatkan akses terhadap keluarga kerajaan. Tujuan penulisan itu bisa untuk menjaga ingatan agar generasi raja yang terbunuh bisa memelihara dendamnya. Bisa juga memang ditulis untuk peringatan kepada mereka yang sedang menjadi penguasa.
Peristiwa pertarungan politik antar penguasa monarki biasanya sangat kejam dan mengerikan. Tetapi hal itu bisa terjaga di kalangan mereka saja. Rakyat di luar kerajaan biasanya tidak turut merasakan gejolak itu. Tahu-tahu mereka memiliki penguasa baru. Dikabarkan bahwa raja yang lama telah mangkat, diganti raja yang baru. Rakyat baru ikut terkena imbasnya jika kebetulan raja yang berkuasa jahatnya di luar batas kewajaran lagi. Bisa juga rakyat terkena imbasnya ketika kerajaan yang sebelumnya melindungi keberadaannya ditaklukkan oleh penguasa kerajaan lain sehingga turut dihancurkan oleh sang raja pendatang.
Dalam dunia kekhalifahan Islam, cerita-cerita pergantian kepemimpinan dan pembasmian orang-orang kepercayaan raja sebelumnya juga lazim terjadi. Hal itu dapat dilihat dari tarikh-tarikh yang telah ditulis para ulama. Perilaku para raja dan anak buahnya ya sebenarnya sewajarnya mencerminkan sikap politisi-politisi pada zamannya. Bedanya, para penguasa ini masih memiliki penghormatan kepada para ulama, rakyat masih memberikan kedudukan yang tinggi kepada para ulama, dan para ulamanya masih banyak yang zuhud sehingga perkataannya ibarat “idu geni” yang jika diucapkan sangat berdampak signifikan pada kekuasaan seseorang.
Sistem demokrasi modern merombak tatanan monarki yang semula membangun dikotomi secara ekstrim antara bangsawan dan rakyat biasa ke dalam bentuk yang egaliter. Secara teoritik, demokrasi modern sebenarnya ideal. Tapi pada praktiknya, ia sudah menyimpang terlalu jauh, karena asumsi dasar demokrasi modern menganggap bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama untuk memberikan aspirasi politiknya. Padahal kenyataannya tidak. Manusia tetaplah memiliki kekhasan dan maqamnya masing-masing. Dalam bahasa yang mudah, Allah menciptakan manusia itu dengan keunikan tugasnya sendiri-sendiri. Sehingga dalam proses kehidupan ini, yang perlu terus dicari setiap orang adalah tugas khususnya dalam hidup secara sosial apa agar tidak berada di tempat yang salah.
Salah satu hal yang perlu kita sorot saat ini adalah ketika POLITIK PRAKTIS menjadi konsumsi setiap orang. Jika kita berkaca pada sistem monarki, peristiwa politik yang terjadi pada masa itu justru lebih efisien karena terlokalisasi dan hanya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung. Kegagalan-kegagalan peristiwa politik pada masa itu, tidak selalu berimbas pada rakyat. Kerusakan besar baru terjadi jika dua peradaban atau dua imperium bertatap muka dalam perang. Selagi pertarungannya masih dalam satu wangsa yang sama, sekejam apa pun perebutan kekuasaannya, masih terhalang oleh dinding istana sehingga tidak banyak diketahui rakyat. Rakyat bisa tetap fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka tidak ikut ruwet memikirkan suksesi kerajaan. Asal rajanya tidak mengusik rakyat, maka tidak jadi soal siapa pun yang bertahta.
Hal itu berbeda dengan kondisi sekarang. Demokrasi modern tidak lagi membatasi setiap orang untuk menjadi apa saja. Sebenarnya jika setiap orang sadar dengan konsekuensi demokrasi modern tidak jadi soal. Permasalahannya, bangsa Indonesia saat ini menghadapi realitas demokrasi modern dengan cara berpikir kerajaan. Sehingga aspirasi politik yang diharapkan muncul secara egaliter, justru sekarang diolah sekedar menjadi deretan angka-angka dalam pemilu. Rakyat hanya disuruh memilih nama-nama yang sebenarnya tidak mereka ketahui dengan pasti kualitasnya. Selain itu, rakyat juga mau-mau saja memberi mandat yang tidak ada konsekuensi tegasnya. Ibaratnya, kalau rakyat salah pilih dan dikhianati oleh sang pemegang mandat, rakyat tidak mampu berbuat apa-apa. Harus nunggu periode berikutnya untuk tidak memilihnya. Itu pun mereka dihadapkan pada pilihan baru yang blawur lagi. Begitu seterusnya.
Kalau sampai di situ sebenarnya masih mendingan. Nah, yang parah hari ini adalah rakyat begitu antusiasnya menjadi bagian dari pertarungan politik itu sendiri. Bukannya kritik pedas dan terukur kepada setiap pihak yang mendapat mandat, yang ada adalah rakyat beroposisi terhadap politisi satu karena dia menjadi pendukung politisi yang lain. Akhirnya bukan para politisi saja yang saling bersaing kursi kekuasaan, tetapi rakyat pun setia mengawal para politisi dan rela bertengkar dengan pendukung politisi yang lain. Dan semua hal menjadi sangat politis sejak pola ini berlaku di masyarakat kita. Terutama didukung dengan keberadaan media sosial.
Maka dari itu, kiranya kita perlu kembali mengkanalisasi pertarungan politik agar menjadi lebih efisien. Sebagai rakyat biasa mari kita mulai berperan dalam kanalisasi itu dengan hanya berperan memberi mandat politik pada saat pemilu saja. Selebihnya ya mari kita berdiri di atas semua golongan. Urusan kita adalah bertransaksi dengan pemerintah. Pada kondisi seperti sekarang ini, pemerintah sudah sewajarnya dibanjiri kritik dan keluhan karena banyak hal yang belum mereka jalankan, padahal sudah diberi fasilitas besar oleh rakyat. Kritik itu juga hendaknya menyasar pada program riil yang menyangkut kepentingan bersama, tidak mengungkit-ungkit masalah-masalah SARA dan berbagai sentimen personal.
Biarlah para politisi saja yang bertarung. Sekejam apa pun, biar mereka saja yang saling menikmati. Apakah mereka saling menggulingkan atau bahkan saling membunuh, biarlah itu menjadi urusan mereka. Jika tidak tahan dan ingin ikut dengan mereka, mendaftarlah secara jantan dengan menjadi pengurus parpol atau tim suksesnya. Di situ Anda bisa menyalurkan dukungan secara maksimal dan dapat bayaran.
Jangan sampai kita jadi rakyat yang dieksploitasi secara gila-gilaan hanya untuk pertarungan mereka. Jangan sampai kita terjebak dengan dalil keberpihakan yang berujung pada permusuhan. Kalau pun harus berpihak, Allah menyuruh kita berpihak pada mereka yang dilemahkan dan dizalimi, bukan menjadi kubu para penguasa. Karena kebanyakan para penguasa itu hobinya memang menzalimi rakyat. Bisa dihitung dengan jari kok, para penguasa yang perjalanan hidupnya manis di mata manusia.
Surakarta, 23 Februari 2018