Di negara-negara Eropa, meskipun para legislator itu dipilih dalam pemilu yang menggunakan sistem partai, kedudukan mereka setelah terpilih adalah merdeka dan tidak tunduk pada perintah (partai). Kedudukan mereka dilindungi konstitusi.

Legislator itu mewakili rakyat dan menggunakan hati nuraninya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Konstitusi menjamin mereka, meskipun mereka dipecat dari partai karena tidak mengikuti kehendak partai. Sehingga mereka tidak dapat diapa-apain oleh partai. Mereka hanya bisa dilengserkan jika mendapatkan mosi tidak percaya dari rakyat.

Di negara ini, sistemnya ambigu. Dengan ambigunya sistem, para politisi jelas senang. Sebab mereka bisa terus memanfaatkan situasi abu-abu. Celakanya, rakyat bukannya fokus mengamati sistem yang tidak logis di banyak sisi, malah sibuk pro-proan dan anti-antian pada kubu. Dengan kekonyolan rakyat yang sangat primordial semacam ini, memang sulit mengharapkan ada perubahan di negara kita. Sebab rakyat yang seharusnya menjadi penjaga kedaulatan di luar stadion, justru larut menjadi supporter yang ribut dengan supporter lainnya.

Semakin hari, keributannya semakin tidak bermutu. Ibaratnya, salah satu supporter cuma melerok saja, sudah bikin ribut. Apalagi belakangan ini ada supporter yang mengacungkan jari tengah, akhirnya makin memanas konflik antar supporternya. Jadi pertanyaannya, sebenarnya bangsa ini serius bikin negara atau nggak? Atau memang aslinya kita itu bangsa barbar yang senangnya ngawur dan suka-suka? Masak iya kayak gitu. Kayaknnya nggak. Mbah-mbah kita dulu sangat sadar tata negara. Kayaknya yang suka ngawur dan brutal baru generasi sekarang, terutama para penyembah Growth dan pengikut kapital.

Surakarta, 23 Oktober 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.