Mengapa kita dalam urusan kepemimpinan lebih banyak ributnya ketimbang memercayai yang ada? Kita juga sering meleset pilihannya karena salah metode, sehingga menyesal di kemudian dan saling menyalahkan satu sama lain. Tidak pernah benar-benar terpuaskan dan selalu menggerutu.
Ada dua contoh yang dapat kita analisis sebelum kita menarik benang merahnya pada urusan kepemimpinan yang begitu besar. Misalnya saat bepergian, kita diperintahkan oleh Rasulullah agar mengangkat pemimpin. Mengapa? Karena dalam perjalanan ada hal-hal yang harus dimusyawarahkan dan diputuskan. Ini akan terlihat ketika kita akan shalat. Sering saya jumpai ada keributan soal pelaksanaan shalat, mau jamak-qasar atau tidak. Lalu timbul perdebatan sengit, bahkan keputusan sang pemimpin tidak diindahkan, akhirnya terbelah dua kelompok.
Saya tidak bicara soal yang benar jamak-qasar atau tidak, itu urusan perbedaan fikih, dan jika terus diperdebatkan saya yakin tidak akan selesai, kecuali salah satu pihak menghabisi pihak yang lain, atau ada yang mundur dan mengalah. Kasus di atas memberi contoh bagaimana kepmimpinan itu penting dalam sebuah perjalanan. Pemimpin yang cakap dan dihormati, serta anggota yang tahu diri di mana saat keputusan diambil maka diikuti saja. Terkadang pula ada tipe pemimpin yang tidak suka mengajak bermusyawarah dan langsung bikin keputusan, nah ini ujian kan. Hahaha
Kasus berikutnya adalah soal shalat berjamaah di masjid. Mengapa Nabi memberi beberapa indikator soal memilih imam? Karena persoalan ibadah shalat ya bukan masalah sepele. Tapi hari ini shalat berjamaah kita sepelekan, walau rajin kita laksanakan. Problem seriusnya ada di pola pikir kita. Kasus yang sangat sering kita jumpai adalah terjadi pembelahan jamaah-jamaah masjid dalam shalat berjamaah yang pada sisi luarnya terbangunlah masjid-masjid baru dan seolah-olah berbendera sendiri-sendiri, padahal sama-sama Islam.
Peristiwa semacam itu terjadi biasanya karena jamaahnya tidak percaya/rela dengan imam yang ada di masjid. Bisa juga ada masalah pada cara berpikir kita bahwa kedudukan imam masjid lebih rendah dari pada pengurus takmir masjidnya, sehingga pengurus takmir bisa “mengkudeta” imam shalat. Bisa juga pengaruh sentimen dari luar dan kesalahan pola pikir menempatkan masjid hanya menjadi tempat shalat saja, tetapi secara makna imam kita saat shalat tetap pada doktrin sektarian yang diterima saat pengajian. Dan bisa juga (mungkin ini yang paling banyak banyak) rasa malas yang menghinggapi. Ketimbang jauh-jauh ke masjid yang sana, mbok kita bangun masjid saja yang dekat sini. Hahaha.
Urusan kepemimpinan itu soal kepercayaan, tapi kita akui saja bahwa kita hari ini lagi diserang penyakit ketidakpercayaan satu sama lain yang sangat serius kan. Juga penyakit memandang remeh sesuatu, sehingga saat bepergian kita asal nunjuk pemimpin, kadang malah tidak mengangkat pemimpin, giliran membuat keputusan ribut satu sama lain. Demikian juga saat shalat berjamaah, saat diminta jadi imam tidak mau (padahal bisa dan pantas), begitu imamnya tidak memuaskan malah nggerundel di belakang. Maka keberadaan pemimpin yang baik saja tidak cukup, harus diikuti kerelaan orang-orang yang dipimpin dan kesanggupannya untuk memelihara nilai-nilai kepemimpinan yang disepakati bersama.
Namun demikian, ketidakpuasan kita boleh jadi berawal dari metode pemilihan pemimpin yang memang tidak tepat. Misalnya dengan metode demokrasi seperti yang sedang trend di negeri kita. Kita tahu berkali-kali hasil dari pemilihan pemimpin dengan cara seperti itu tidak memuaskan, tapi kita tetap kukuh mempertahankannya, tanpa evaluasi yang mendasar. Makanya sebaik apa pun pemimpin yang diberikan, dengan mental masyarakat seperti di negeri ini ya pasti tetap ribut. Makanya dikasih pemimpin kayak apa pun bentuknya, dengan kebiasaan kita yang heboh kayak sekarang, ya sama saja. Wong dalam benak kita, pemimpin yang kita harapkan harus “dari golongan kita”, gitu kan. Hahaha
Dan demikianlah dalam segala hal di kehidupan kita terjadi peristiwa semacam itu. Hidup memang boleh salah dan meleset, tapi kita suka plesetan tidak karuan saat ini (termasuk saya, dan saya sangat sering kepleset tidak terhitung lagi banyaknya). Makanya mari kita nikmati keributan yang terus akan terjadi tak habis-habis, apalagi perselisihan semacam ini difasilitasi media sosial, didukung provokator dari kalangan fanatikus, dan ketiadaan tokoh-tokoh yang menjadi penengah, karena kebanyakan tokoh juga suka berkubu-kubu dengan militan. Karena kita tidak benar-benar berani melakukan perombakan dari yang mendasar, termasuk dari dalam diri kita sendiri, maka ya sabar dong kalau perubahannya lama, bahkan kadang nggak kunjung berubah. Wong kita ya gini-gini aja. Hahaha
Juwiring, 23 Juli 2016