Di antara manfaat belajar matematika adalah melatih kesadaran logika. Nah ada banyak peristiwa di kehidupan kita yang lucu-lucu. Tapi ini menurut pendapat saya lho. Boleh setuju, boleh nggak.
Misalnya, selama ini kita kenal pernyataan soal demokrasi, bahwa suara rakyat adalah suara tuhan. Jika dipahami dengan pendekatan bahwa manusia itu memiliki fitrah (cenderung pada kebaikan sesuai kehendak Tuhan), maka prinsip demokrasi itu sebenarnya memang benar. Hanya, realitasnya manusia sekarang cenderung pada hal-hal yang buruk. Makanya dengan realitas ini, konsep demokrasi yang lazim dipahami menjadi tidak relevan. Bukan salah demokrasinya, tetapi realitasnya tidak sesuai.
Misalnya dalam peristiwa pemilu di Indonesia. Benarkah itu peristiwa demokrasi? Jika itu memang peristiwa demokrasi, berarti rakyat yang memilih pemimpin harus memiliki prasyarat utama, yakni memiliki kedaulatan untuk mengawasi pemimpin dan memiliki kecukupan ilmu untuk mengenal mana pemimpin yang pantas dalam ukuran fitrah. Faktanya, pemilu itu sering diwarnai peristiwa “lu kasih, gua pilih”, menurut saya ini peristiwa bisnis/transaksional. Fakta lainnya, pemilu itu juga sering diwarnai peristiwa “dia kan dari kalangan keluarga/suku/kelompok kita, pasti kita dukung, benar atau salah”, menurut saya ini peristiwa solidaritas kelompok, embrio feodalisme. Dan silahkan diidentifikasi sendiri fakta-fakta di lapangan dan simpulkan itu peristiwa apa.
Maka, mari siapkan kesabaran berlipat-lipat, karena peristiwa pemilu di negeri kita tidak selalu menghasilkan pemimpin. Mengapa? Jika yang dominan peristiwa bisnis, maka ya yang dihasilkan penguasa bisnis. Jika yang dominan adalah peristiwa solidaritas kelompok, akan dihasilkan penguasa yang emban cinde emban siladan, rasa feodal. Yang beruntung adalah daerah-daerah yang mengalami peristiwa demokrasi beneran, sehingga lahirlah pemimpin, yang sesuai dengan kualifikasi dan memiliki kepantasan. Apakah ini sudah terjadi di Indonesia? Silahkan diteliti dan disimpulkan sendiri sudah apa belum.
Makanya kadang saya sekarang suka ngekek kalau ada yang suka menghujat demokrasi di negeri ini. Apanya yang demokrasi? Emang beneran negeri ini berdemokrasi? Jadi kalau menghujat sesuatu yang tidak ada kan lucu namanya. Dibilang tapir lah, produk dari remason, brownis, dan wahyudi. Apa pun itu, terkadang kita memang sering terjangkiti penyakit berlebihan pada sesuatu hal. Itu pun dulu juga sering saya alami. Kalau ingat itu, geli sendiri. Lucu sekali saya ya. Sama-sama pemilu, belum tentu itu peristiwa demokrasi, karena boleh jadi itu peristiwa bisnis, bisa juga peristiwa solidaritas kelompok.
Model analisis di atas dapat kita giring untuk memahami peristiwa shalat, zakat, sedekah dan amalan-amalan baik yang diperintahkan oleh Allah. Kita hanya mampu melihat peristiwa itu secara zahir, dan sebaiknya kita tidak centil untuk ngurusin hati orang soal niat mereka, biar itu urusan Allah. Karena selama ini kita sering mengaitkan secara mutlak tindakan zahir seseorang dengan tingkat ketaqwaan dan kesalihan seseorang. Bukankah itu sebenarnya sebatas prasangka baik kita. Demikian pula pilkada yang sebentar lagi akan terjadi, biarkan itu terjadi. Mau datang ke bilik atau tidak, mau tidak nyoblos, nyoblos satu, dua, atau semua calonnya, semua bergantung pada niat kita masing-masing. Pertanyaannya? Apakah kita sedang menjalankan niat yang benar atau karena diwarnai kepentingan seperti yang diuraikan sebelumnya.
Selamat menikmati hiburan kepemimpinan negeri ini. Mari siapkan kesabaran berlipat-lipat tanpa batas, sembari memohon kepada Allah agar dibanyakin pemimpinnya. Dan semoga kita dijauhkan dari penguasa bisnis atau raja feodal yang cuma membela kepentingan kelompoknya saja.
Juwiring, 7 Desember 2015