Negeri kita cuma butuh pemerintah yang memiliki administrasi yang baik, mampu menjaga keamanan negeri, dan memiliki peradilan yang baik. Itu saja.

Urusan-urusan publik seperti pendidikan, kesehatan, dll itu kalaupun tidak ada menteri-menteri, diurus sama Muhammadiyah, NU, dan yayasan-yayasan sosial lain wis beres. Yang penting auditnya ketat.

Jadi sebenarnya kita bisa bikin pemerintahan yang anggaran belanjanya kecil. Cukup buat Presiden, menteri dalam negeri, menteri keamanan darat dan laut, kemudian jaksa dan para hakim agung saja. Simpel kan kabinetnya. Parpol bila perlu nggak usah ada.

Cuma kita itu senangnya main-main dengan birokrasi yang super besar. Akhirnya sekarang kita terlanjur jadi negara nanggung, mau jadi kayak pemerintahan-pemerintahan Eropa – Jepang duite sitik, tur ra iso utang kayak Jepang (yang kini sudah lebih dari 100.000 triliun), tapi terlanjur punya karep macam-macam, sampai menterinya sak tekruk, termasuk menteri ra jelas ngapa-ngapain tapi tetap dapat penghargaan nasional. Menteri cap dobol dan ora mutu. Akhirnya meskipun anggaran kita besar, tapi muk entek nggo nggaji pegawai.

Belum lagi soal ekonominya. Sebelum bicara fatwa haram soal bunga bank, mending kita mulai dari pertanyaan ini. Jika BI adalah lembaga berdaulat, kok untuk mencetak uang harus menetapkan suku bunga. Sehingga bank-bank di bawahnya sampai koperasi akhirnya juga menetapkan suku bunga yang lebih tinggi dari BI. Bunga dari bank-bank hingga koperasi sih wajar dan masuk akal, sebab mereka paradigmanya lembaga bisnis yang cari untung. Ya mosok njilihi kowe ra golek bathi. Terus sing mbayari karyawan bank karo sewa gedung siapa? Lagian kowe ra mesti gelem nambahi pas mbalekke duit kan? Ngono kok njaluk bebas bunga.

Lha kalau BI, mengapa menetapkan suku bunga. Kan kalau berdaulat ya tinggal cetak uang berdasarkan nilai produktivitas kolektifnya. Jangan-jangan BI itu sendiri hanyalah bank anakan dari bank yang lebih besar lagi, yaitu Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia sendiri ternyata juga menetapkan suku bunga. Lalu siapa sebenarnya yang punya kedaulatan mencetak uang. Berarti putaran ekonomi orang sedunia ini, di bawah kendali sebuah kelompok yang tidak kelihatan, yang bebas membangun kekayaan melalui penetapan suku bunga pada bank terbesar di dunia untuk mendikte seluruh bank sentral di berbagai negara. Lha kalau gitu, perekonomian macam apa ini?

Tapi wislah soal ekonomi rada kompleks masalahe. Tapi apa ndak bisa to kita bikin pemerintah yang simpel saja. Biar anggaran yang sekian T itu bisa dihemat cukup banyak untuk nyaur hutang pemerintah yang menggunung ini dan bisa buat membangun infrastruktur. Minimal biar Pak Jokowi seneng mbangun-mbangun. Kalau besok kepilih lagi, bisa mbangun lebih banyak lagi tanpa kakehan utang.

Surakarta, 21 Agustus 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.