Gagasan keadilan sosial akan selalu salah diterjemahkan generasi milenial dan pemerintahan zaman now yang mengacu pada angka kesejahteraan dan kemiskinan versi World Bank.
Masih mending kalau berani menumbuhkan cara pandang baru melalui pendekatan Index of Happines (Indeks Kebahagiaan) atau mungkin suatu saat muncul Index of Production dalam arti yang sebenarnya.
Saya selalu mengernyitkan dahi kalau mengunduh data resmi APBN yang isinya selalu aneh. Sejak proses penganggaran, jumlah belanja selalu lebih besar dari penerimaannya, sehingga selalu ada defisit. Apa jawaban untuk defisit, ya HUTANG.
Tentu saja para pakar ekonomi yang cerdas itu punya segudang dalih untuk menjawab ketidakmudengan orang awam macam saya. Cuma kok saya bingung dengan salah satu cerita tentang proyek infrastruktur, kan pasirnya dari bumi Indonesia, semennya juga, batu-batu dan besinya juga, hanya alat berat dan tenaga ahlinya yang mungkin dari asing, kok bisa mahal banget ya biayanya. Belum lagi fenomena PNS, yang gajinya dari uang negara, lalu dipotong pajak dan masuk lagi ke negara, kan mbulet sekali. Kenapa tidak digaji pas saja tanpa dipotong-potong lagi.
Tingkat kembuletan ini kadang saya tanyakan ke teman saya, Anam Lutfi yang studi di Ekonomi Pembangunan. Dia cuma nyengir dan tertawa. Ya saya mencoba menerka maksudnya. Mungkin memang rakyat sebaiknya bingung, agar para ahli ekonomi dapat bekerja keras. Sebab kalau rakyat tidak bingung, apa yang akan ditulis oleh mereka. Hahaha.
Juwiring, 28 Oktober 2017