Petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil di pasar itu sebenarnya prosentase jumlahnya paling banyak lho di Indonesia.
Meski jumlah mereka banyak, mereka selalu kalah berhadapan dengan konglomerat yang jumlahnya jauh lebih sedikit ketika berurusan dengan aspirasi politik.
Mengapa demikian? Karena konglomerat itu memiliki wakil di semua parpol yang ada di DPR. Sedangkan, petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil di pasar itu hampir tidak punya wakil yang kuat di parlemen.
Mungkin ke depan perlu didorong agar para petani khusus mendirikan partai Petani, anggota dan pengurusnya wajib dari kalangan petani. Juga pada nelayan dan pedagang kecil. Kalau buruh sebenarnya sudah punya serikat-serikat. Anehnya mengapa mereka tidak mendirikan partai buruh ya?
Jika partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu memiliki target yang spesifik semacam ini, pasti akan terjadi perimbangan kekuasaan di negeri ini. Para konglomerat yang bertahun-tahun telah menikmati aneka fasilitas dari pemerintah melebihi petani, nelayan, pedagang pasar, dan buruh akan berkompetisi secara langsung dengan mereka.
Parpol-parpol yang ada saat ini ideologinya nggrambyang semua. Mereka itu sebenarnya memperjuangkan apa? Namanya aneh-aneh dan tidak jelas kepentingannya selain memperjuangkan kesejahteraan pengurus dan para anggotanya saja. Anggotanya juga tidak jelas warnanya, tapi kebanyakan elitnya adalah konglomerat. Maka tidak usah heran siapa pun presidennya, pemerintah RI akan selalu memprioritaskan para konglomerat, bukan rakyat.
Bayangkan jika petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh punya parpol, maka akan ada perdebatan bermutu di sidang-sidang parlemen. Sebab masing-masing pihak memperjuangkan golongannya secara propersional. Jika komposisi ini terbentuk, reformasi agraria akan cepat dijalankan. Sebab petani butuh lahan untuk mereka berkembang, maka para pengusaha sawit yang memakai tanah-tanah negara harus berbagi dengan petani rakyat.
Nelayan juga akan semakin kokoh dan sejahtera karena mendapatkan alokasi anggaran yang besar untuk membangun sistem penangkapan ikan yang modern. Buruh juga akan memiliki power agar para konglomerat tidak semena-mena menjalankan bisnis. Pedagang pasar juga akan mendapatkan jaminan usaha dan tidak harus berhadapan langsung dengan konglomerat pemilik mall yang sekarang menguasai hampir seluruh sektor perdagangan. Secara keseluruhan, partai-partai dari rakyat ini pasti akan mengimbangi partainya konglomerat yang sudah bercokol lama di negeri ini.
Masalahnya satu, rakyat Indonesia sendiri sepertinya belum terbuka pikirannya untuk berpolitik secara sungguh-sungguh. Mereka terlalu lama dibodohi oleh konglomerat dan politikus bonekanya sehingga tidak bisa menyadari bahwa mereka juga punya hak politik dan berhak mendirikan partai politik. Saat ini partai-partai keagamaan pun juga tidak jelas ideologinya. Menurut saya, di zaman modern yang harus taktis ini, partai keagamaan itu justru mbulet dan meruwetkan. Mending para tokoh agama, sesuai bidang-bidangnya dan area dakwahnya menginisiasi berdirinya parpol-parpol yang secara spesifik memperjuangkan kepentingan rakyat. Sudah pasti namanya memperjuangkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan, nilai-nilai agama akan dibawa. Wong bangsa Indonesia itu bangsa yang beragama.
Kalau partai untuk rakyat tak kunjung dibuat, nanti keburu konglomerat berkuasa tanpa batas. Kalau sudah berkuasa mutlak, maka rakyat hanya terus diinjak-injak tanpa ampun. Menurut saya, masa-masa ini belum terlambat. Pemilu 2019 sudah nggak usah dipikirkan pusing-pusing. Mending kita siapkan rencana baru agar tidak semakin celaka lagi.
Surakarta, 20 Maret 2019