Banyak yang masih memercayai bahwa politik adalah puncak dari solusi penataan masyarakat saat ini. Padahal supremasi dalam kehidupan yang sedang berjalan saat ini adalah ekonomi yang didasari ajaran kapitalisme di bawah kendali filsafat materialisme yang tentu saja atheis.
Kepentingan ekonomi mengendalikan politik, pemikiran, pengetahuan, kebudayaan, bahkan termasuk dalam pelaksanaan pengamalan agama. Hal itu terlihat bagaimana setiap hal selalu didasari hitung-hitungan untung rugi materi dan mengesampingkan harga diri. Jangan tanya soal Tuhan, Tuhan kini tinggal menjadi aksesori yang dipakai untuk pelicin saja.
Filsafat hidup tentang SANDANG, PANGAN, PAPAN sudah dibalik urutannya menjadi PANGAN, SANDANG, PAPAN. Artinya, di zaman sekarang telanjang tidak apa-apa asal makan atau secara gamblangnya adalah kehilangan kehormatan dan harga diri itu tidak apa-apa yang penting hidup nyaman sejahtera, bila perlu menindas yang lain demi kepentingan pribadi.
Tidak usah menyalahkan presiden, gubernur, atau siapa pun pejabat kita terus-terusan. Toh kita sendiri juga kebanyakan seperti itu. Sangat susah bagi kita saat ini menjalani hidup berbasis kemuliaan. Susah sekali kita bekerja karena pengabdian, lebih karena urusan mencari uang. Periksa saja niat kita bekerja setiap hari, paling juga demi uang bulanan agar bisa hidup, bukan agar karya yang kita kerjakan itu menyejarah dan memberi perubahan besar bagi masyarakat.
Ajaran Islam sebenarnya menawarkan solusi untuk melawan semua kebobrokan nilai kehidupan itu. Jika umat Islam mau bertasawuf dan mengendalikan diri untuk tidak mengkonsumsi apa yang tidak dibutuhkannya dan mau kembali ke jalan penuntut ilmu, insya Allah kita tidak akan turut celaka seperti sekarang. Tidak bisa tidak, sistem Islam akan mendorong masyarakat itu untuk menjadi otonom dalam berbagai sistem mereka, baik ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Ukhuwah Islam secara global itu diikat oleh akidah, bukan karena ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Islam itu mendidik setiap umat Islam untuk otonom dengan keyakinannya pada Allah tetapi bersaudara secara kebudayaan untuk melawan ketidakadilan.
Jika sekarang di tengah umat Islam sendiri terjadi penjajahan ideologi, fashion, dan berbagai hal-hal yang seharusnya saling dihargai maka itu tandanya bukan Islam yang sedang bersemayam, tapi tetap kapitalisme yang berkamuflase menjadi kapitalisme syariah. Dari ajaran kapitalisme syariah inilah sekarang kita merasakan bagaimana ormas, madzhab, dan berbagai firqah dalam Islam menjadi saling berkeras satu sama lain. Karena yang ada di dalamnya bukanlah akidah, melainkan kepentingan, egoisme, dan fanatisme buta. Semua itu terjadi karena matinya tasawuf dan tradisi intelektual di tengah umat Islam.
Pernahkah kita mendengar ustadz yang berceramah soal pentingnya antri, makan dari produk sendiri yang ditanam di kebun sendiri atau dari sentra produk rakyat lokal, kebanggaan pada produk lokal yang dipastikan kehalalan dan kethoyyibannya tanpa disertifikasi halal? Masih adakah ustadz yang menjalani hidup seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali yang meskipun memiliki akses harta luar biasa ke berbagai penjuru tetapi tidak bersedia mengambil kecuali yang dibutuhkannya saja? Bukankah sekarang ustadz justru menjadi profesi? Bukankah ini lagi-lagi adalah implementasi kapitalisme syariah tadi?
Sudahlah, jangan kebanyakan berteori soal tauhid, sambil menyesat-nyesatkan saudara sesama muslim jika terhadap perusahaan (eh pemerintah) yang menyulap Haramain menjadi seperti Paris atau Las Vegas saja bungkam. Tauhid kita kebanyakan sama, Tauhid Fulus. Semua tindakan kehidupan kita semata-mata untuk kepuasan materialistik kok. Silahkan dirasakan sendiri-sendiri, apa kekhawatiran kita terbesar hari ini. Khawatir nggak punya duit kan? Saya tidak mau munafik, saya pun khawatir akan hal ini. Dan kekhawatiran saya masih tinggi. Makanya saya masih mengkhawatirkan keimanan saya, muslim beneran apa belum.
Dunia kita saat ini adalah dunia yang berorientasi PANGAN, bukan lagi dunia SANDANG. Karena otak kita otak PANGAN, maka SANDANG dan PAPAN yang kita perjuangkan pun tidak lebih urusan SANDANG dan PAPAN fisik saja. Maksudnya, karena orientasi kita itu semata-mata kebutuhan harta, isi perut dan bawahnya, maka kalau kita mengejar gelar atau pakaian kehormatan ya demi itu, kalau nanti dapat posisi penting di masyarakat ya demi itu juga.
Hal ini berbeda jika kita membangun dunia yang berorientasi SANDANG. Maka kita tidak akan terlalu bernafsu dengan PANGAN, seperlunya saja. Kita juga bukan menjadi pengejar PAPAN, karena itu adalah amanat yang hanya akan diberikan pada yang mampu mengelola. Maksudnya, jika gelar kehormatan hidup kita adalah kemuliaan dan pengabdian, maka kita pasti tidak akan waton mbadog dan memburu kepuasan nafsu. Kita tetap punya ukuran kepantasan untuk meraihnya, punya rasa malu, dan punya batas. Apalagi urusan posisi dan jabatan, hal semacam itu akan sangat kita hindari, bila bisa jangan sampai menjadi, meskipun jika kelak diberikan maka kita siap menggunakannya secara maksimal.
Leluhur kita di tanah Jawa dan Nusantara ini punya segudang filosofi yang sudah sangat Islami, tanpa harus diistilahkan dengan bahasa Arab. Pelajarilah mendalam, pasti banyak yang berjodoh dengan ayat-ayat al Quran. Karena al Quran adalah representasi dari ukuran-ukuran standar kehidupan yang sudah digariskan oleh Allah dari zaman azali. Al Quran (terpaksa) Allah turunkan ke dunia, lengkap dengan tutorialnya praktiknya (kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad SAW) karena manusia sudah pada puncak kebodohannya, sehingga tidak tahu ukuran-ukuran kepantasan hidup manusia yang seharusnya.
Di zaman ini, jangan tanya lagi tingkat kebodohan kita yang sudah sangat parah. Saking tidak pahamnya kita pada al Quran, kita sama sekali tidak tahu untuk apa al Quran itu. Malah cuma dijadikan benda antik untuk dirituali setiap hari sebagai jimat untuk mendapatkan kekayaan. Dikiranya al Quran itu sekedar kertas bertuliskan huruf Arab itu. Padahal ….. ah sudahlah.
Demikian curhatan saya soal supremasi ekonomi. Supremasi ekonomi adalah meletakkan kepentingan ekonomi sebagai payung tertinggi dalam tindakan kehidupan kita seperti yang berlangsung saat ini. Makanya jangan terlalu berharap ada keadilan, kebenaran, dan kehormatan yang lahir dari penegakan supremasi semacam ini. Dan inilah bencana kemanusiaan yang saya maksud.
Kita mengaku bertauhid pada Allah, tapi pada praktiknya kita adalah penyembah Dinar dan Dirham. Nabi Muhammad SAW pernah mencemaskan ini, dan kekhawatiran beliau telah terjadi. Tidak ada lagi patung yang disembah, karena biayanya mahal dan butuh keahlian seni yang tinggi. Cukuplah manusia saat ini diberi ajaran sederhana untuk mengenal tuhannya yang maha agung, UANG. Dan semua bergerak untuk menujunya, menuju kecelakaan terbesar dalam peradaban manusia. Perang, pembantaian, penggusuran, dll semua terjadi demi tuhan uang yang maha agung itu.
Juwiring, 5 Oktober 2016