Saya masih berpegang teguh bahwa dalam Islam itu, semua tindakan dakwah itu haruslah berkualitas dan mengesankan siapa pun yang menerimanya. Bahkan dalam Islam, perang itu adalah upaya dakwah yang membuat siapa pun terpesona.
Bayangkan ada perang di mana para pasukan Islam tidak:
1. Merusak rumah ibadah
2. Membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua
3. Membunuh tokoh agama
4. Menebang pohon kecuali terpaksa untuk keperluan perang
5. Menjarah harta benda masyarakat yang dilewati
6. Membunuh musuh yang menyerah
7. Menyiksa musuh untuk memperlama rasa sakit
Dan masih banyak hal terpuji lain yang dilakukan pasukan itu selama perang. Cobalah cari riwayat yang menyebutkan ketika Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin perang secara langsung, apakah beliau pernah membunuh atau menawan seorang musuh? Bukankah itu sebuah pertempuran yang sangat rumit bagi umat Islam? Dalam situasi penuh tekanan psikologis semacam itu, umat Islam dituntut disiplin dan tidak brutal. Bayangkan kalau kita saat ini jadi pasukannya. Bisa kayak gitu?
Mari kita melihat pertempuran itu dari perspektif musuh pasukan Islam. Mereka tidak mendapatkan siksaan selama perang, karena begitu kesakitan dan tidak mau menyerah langsung ditebas lehernya agar lekas mati. Ketika mereka tertawan, terjamin nyawanya dan dipelihara dengan baik oleh penawannya, walau berstatus budak. Keyakinan mereka tetap dihargai dan tidak dipaksa murtad dari agama mereka. Musuh yang memiliki kesadaran sejati pasti bangga bisa bertempur dengan pasukan semacam ini. Mereka bisa mati dengan terhormat atau kemudian mendapatkan perlakuan yang manusiawi ketika kalah. Pesona ini sangat mungkin membuat banyak tawanan itu kemudian bersyahadat.
Selanjutnya mari kita melihat pertempuran itu dari perspektif masyarakat umum yang menyaksikan perang. Mereka melihat pasukan yang sopan saat melewati daerahnya, yang memberikan rasa aman saat dilewati dan tidak khawatir hartanya dijarah. Kesan seperti ini akan membuat banyak daerah rela takluk tanpa harus melalui perang dahulu karena kesan pertama yang disuguhkan begitu menawan.
Itulah mengapa setelah Islam mendapatkan tempat di Madinah, persebaran Islam ke seluruh jazirah Arab begitu cepat tetapi dengan jumlah peperangan yang sangat efisien. Diperkirakan jumlah sariyah (pengiriman datasemen pasukan ke suatu daerah tanpa dipimpin Rasulullah) dan ghozwah (peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah) hanya sekitar 50 kali selama beliau tinggal di Madinah. Artinya peperangan yang terjadi dalam kurun 9 tahun di sana hanya sekitar 5-6 kali setiap tahunnya. Ini adalah angka yang sangat sedikit dibandingkan dengan iklim bangsa Arab ketika itu yang sedikit-sedikit berkonflik satu sama lain, mirip seperti sekarang yang bahkan di bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram mereka masih tetap menggelorakan perang. Dan tentu saja peperangannya sudah sangat brutal dan tidak terkendali. Ndak manusiawi sama sekali.
Lebih lanjut lagi, dalam waktu kurang dari 100 tahun, wilayah dua kekaisaran dunia, Persia Raya dan Byzantium Romawi Timur dapat ditaklukkan pasukan Islam dengan cepat. Menurut saya, tidak mungkin jika penaklukan itu hanya secara militer. Tapi pasti ada sebuah pesona yang ditunjukkan para pasukan Islam sehingga mereka mendapatkan dukungan sosial dan ekonomi dari masyarakat yang dilewatinya, sehingga para pasukan Islam langsung dapat menembus jantung pertahanan inti kekaisaran tanpa kehabisan tenaga meladeni gangguan masyarakat sepanjang perjalanan. Hal inilah yang selalu membuat pusing Prof. Hugh Kennedy sehingga beliau mempertanyakan, “jika yang dilakukan pasukan Islam itu adalah penaklukan, kenapa seluruh daerah taklukannya justru menjadikan Islam sebagai akar peradaban mereka hingga hari ini?”.
Jadi, bagaimana pun situasinya dan sulitnya keadaan hari ini yang penuh berita bohong dan kekejaman, mari tetap berusaha menjaga pesona dakwah Islam. Jika para salaf pun mencontohkan perang yang penuh pesona, apa kita tidak bisa menebarkan dakwah Islam tanpa perang yang jauh lebih memesona? Semua kembali pada diri kita.
Juwiring, 6 Oktober 2016