Saya cenderung guyonan soal politik negara ini karena memang secara sistem politik kita bermasalah serius.

Namanya bikin negara, jelas tidak setiap orang ikut turun mengurusi negara itu, maka dia memandatkan pada orang-orang yang menjadi wakilnya.

Nah, mandat keterwakilan ini tidak memiliki kepastian dan definisi. Kita tidak mengikuti sistem distrik yang memberi kepastian siapa yang memenangkan pemilu distrik, maka dia otomatis menjadi wakil keseluruhan distrik itu.

Secara otomatis, seluruh warga distrik itu mengetahui nama wakilnya secara definitif di parlemen, baik dulu memilihnya atau tidak memilihnya. Sehingga kalau ada hak-hak rakyat yang tidak dipenuhi pemerintah, mereka tinggal demo dan memburu si wakil di Parlemen itu agar memperjuangkannya.

Di Indonesia, sistem dapil menjadi masalah yang abu-abu. Di setiap dapil, baik dalam level DPRD Kabupaten/ Kota, DPRD Provinsi, hingga DPR RI diisi diperebutkan oleh beberapa calon anggota legislatif dan memberi slot kursi kepada beberapa orang. Sehingga keterwakilannya berdasarkan dapil saja tanpa kepastian bahwa rakyat di dapil itu memiliki wakil definitif yang bisa dikeluhkesahi sewaktu-waktu.

Undang-undang no 17 tahun 2014 yang terdiri atas 428 pasal itu tidak memberi penjelasan mendasar mengenai prinsip keterwakilan ini. Padahal ini adalah hal pokok dan sangat mendasar. Jika kita rakyat, wakil definitif kita siapa dan hak-hak apa yang kita wakilkan. Jika mereka wakil rakyat, mereka mewakili rakyat yang mana secara definitif dan hak-hak rakyat apa saja yang harus mereka perjuangkan.

Selain itu, para wakil rakyat ini, selama menjabat tidak memiliki hak kekebalan dari intervensi partai politik. Padahal ia tengah mengemban jabatan membawa aspirasi rakyat, masak iya direcoki intervensi dari partai politik asalnya. Di beberapa negara, anggota Parlemen memiliki hak kekebalan dari berbagai intervensi partai politik, sekalipun partainya sendiri. Setiap anggota parlemen bertindak atas dasar hati nuraninya dan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Dan itu tidak saya temukan di Undang-undang no 17 tahun 2014. Pasal-pasalnya isinya muk normatif, mirip AD/ART organisasi kemahasiswaan saja.

Dengan kenyataan semacam ini, bagaimana mungkin sebagai rakyat saya berharap pada mekanisme-mekanisme politik yang ada. Ketidakjelasan ini adalah ladang kejahatan yang besar di kalangan politisi untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri dan golongannya saja, tapi tidak untuk rakyat kebanyakan.

Saya tidak terkejut jika negara bisa berjalan amburadul seperti sekarang, sebab perkara paling mendasar saja soal perwakilan rakyat tidak jelas. Jika hubungan rakyat terhadap wakil-wakilnya saja tidak jelas, bagaimana mungkin wakil rakyat akan bekerja mengawal pemerintahan. Bagaimana wakil rakyat menyerap aspirasi dan memperjuangkan rakyat yang diwakilinya, wong mereka sendiri saja mendefinisikan siapa yang diwakilinya tidak bisa kok.

Saya tidak anti dan alergi pada politik. Tapi tentu bukan politik tai kucing semacam ini. Yang sekedar mendefinisikan hal paling pokok dari demokrasi saja tidak bisa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.