Karena yang dominan dalam penceritaan sejarah Islam adalah peperangan, maka imajinasi tentang dakwah Islam berkutat pada latar kerajaan, kehidupan istana, dan polemik politik para penguasa. Dulu itu sangat menarik, karena minimal bisa jadi cerita pembanding ketika dunia Barat punya cerita-cerita heroik semacam itu.

Tapi kalau direnungkan kembali, benarkah sejarah peradaban Islam seperti itu?
Seolah dakwah identik dengan pedang yang dihunus dan yang tertebas pedang adalah musuh. Coba tengoklah perang Siffin, perang Jamal, hingga perang Karbala. Tengok juga penghancuran Ka’bah oleh Hajjaj demi merebut Mekah dari Abdullah bin Zubair. Tengok pula revolusi Abbasiyah yang menyembelih para pembesar Umayyah. Dan masih banyak lagi. Masak iya, kiblat dakwah Islam dari generasi macam begituan. Nggak salah?

Di mana perjalanan kisah keturunan Rasulullah berada dalam sejarah Islam? Di mana kisah para sahabat yang lari ketika masa fitnah? Di mana kisah para ulama dan sufi dalam sejarah Islam? Mereka dipinggirkan. Mereka hanya menjadi kisah pelengkap saja dalam kisah yang dinarasikan sebagai kekhilafahan Islam. Bukankah yang primer dalam sejarah Islam seharusnya para ulama? Bukankah nasab ilmu-ilmu agama hari ini bersambung kepada mereka? Mengapa yang menjadi trend justru para penguasa?

Jangan-jangan gara-gara ini, akhirnya umat Islam meletakkan politik sebagai bagian primer dalam dakwah. Seolah dakwah adalah politik itu sendiri. Sehingga diraihnya kekuasaan sama dengan kemenangan dakwah. Tidakkah kita belajar bahwa kekuasaan itu ibarat gelombang sinus, suatu saat sejalan dengan dakwah para ulama, di lain waktu justru memberangus dakwah para ulama. Sebagaimana dinamika para ulama sendiri, terkadang ada di antara para ulama dan pengikutnya berseteru atas pendapat fikih, terkadang mereka bisa juga dipersatukan oleh penguasa demi sebuah tujuan, misalnya memerangi musuh yang sama.

Maka yang primer dalam bangunan sejarah Islam sebenarnya adalah fenomena al Quran dan kabar tentang Rasulullah itu sendiri. Kisah para mujtahid di setiap zaman lah yang membuat al Quran dan kisah tentang Rasulullah disegarkan kembali di kepala umat. Akal yang rusak oleh kekuasaan dan kekayaan disehatkan kembali. Pendaran cahaya kedua pusaka itulah yang tidak berhenti mengalir dari zaman ke zaman entah kekuasaan Islam sedang kuat atau terpecah. Yang awalnya menghancurkan, akhirnya menjayakan. Lihat saja Mongol yang melumat Baghdad. Tapi akhirnya melahirkan Turki Utsmani dan Mughal.

Ada beberapa mata air yang hilang oleh konstruksi sejarah masa kini. Bagaimana kontribusi keturunan Rasulullah dari garis Ali bin Abi Thalib? Selama dinasti-dinasti Islam berkuasa, banyak yang memburu dan membunuh mereka karena takut goyah kekuasaannya. Bagaimana alur lahirnya Syiah hingga akhirnya menjadi seperti sekarang dan membiaskan istilah ahlul bait hingga membuat sebagian umat Islam tidak sungguh-sungguh meneliti perjalanan para syarif keturunan Rasulullah ini, gara-gara takut dicap Syiah.

Bagaimana kisah para sahabat yang mematuhi Rasulullah untuk segera lari dari Madinah ketika terjadi masa fitnah. Bagaimana dakwah mereka dalam menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia? Pernahkah kita meneliti jejak-jejak mereka? Sepertinya kita berada dalam jebakan pemahaman sejarah yang berpusat kerajaan, sehingga cara berpikir kita tanpa sadar feodal, hingga akhirnya mekanisme dakwah kita selalu begitu-begitu saja, yaitu model gerakan terpusat. Apakah tidak ada alternatif lain?

Pada akhirnya kita perlu merenungkan, dakwah Nabi itu seperti naik motor trail sendiri-sendiri tapi melewati medan secara bersama-sama dan sambung menyambung serta saling menolong atau naik bus-bus dengan sopirnya masing-masing di mana setiap penumpang pasrah bongkokan sama sopirnya. Karena keduanya sangat berbeda dan akan menghasilkan generasi yang berbeda. Coba kita renungkan!

Gondangsari, 19 November 2017

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.