Di zaman Umar, kasus pecat memecat gubernur sudah biasa terjadi. Apalagi di era Utsman dan Ali.

Kasus pemecatannya bermacam-macam. Ada karena indikasi korupsi, ada pula karena ketidakcocokan rakyat kepada sang gubernur, sekalipun sang gubernur tidak memiliki catatan hitam terkait jalannya pemerintahan.

Khalifah tidak perlu bikin KPK, cukup rakyat lapor ke Madinah. Lalu persidangan digelar, rakyat didengarkan pendapatnya, gubernur didengarkan keterangannya, majelis qadhi memberikan pertimbangannya, khalifah menjatuhkan keputusannya.

Apa yang menjadi kuncinya? Kejujuran dan kehendak rakyat. Khalifah bersikap adil dan obyektif. Gubernur bersikap jujur dan mengakui kesalahannya, meskipun biasanya indikasi korupsi itu berangkat dari tindakan-tindakan inisiatif gubernur menyikapi harta rampasan perang, sehingga menurut gubernur bukan korupsi, tetapi setelah didalami ada indikasi korupsi.

Untuk kasus pemecatan gubernur yang tidak memiliki kesalahan dalam pemerintahan, tetapi karena ketidakcocokan rakyat terhadap sang gubernur. Ketika rakyat memiliki sodoran calon, khalifah pun mengesahkan yang diusulkan rakyat. Si gubernur menerima keputusan khalifah tanpa memberontak sebab menyadari bahwa dia mengabdi untuk rakyat. Rakyat puas, khalifah juga lega, kehidupan berjalan baik-baik saja.

Tapi ketika masalah internal kegubernuran Mesir menjadi bahan keributan sekelompok orang ahli Quran di Kuffah, akibat rasa sakit hati mereka atas dilantiknya gubernur baru Mesir yang menggantikan gubernur sebelumnya (yang menurut laporan warga terindikasi korupsi), ternyata berefek panjang. Orang-orang ahli Quran ini di satu sisi dihormati karena jasanya, tetapi di sisi lain dia keceplosan menunjukkan sifat ekstremnya terkait pelantikan gubernur Mesir yang baru. Mereka yang melihat masa lalu si gubernur, merasa sakit hati dengan penunjukan baru itu.

Setelah melalui negosiasi yang panjang dan melelahkan, dibuatlah keputusan yang memuaskan semua pihak bahwa salah satu dari perwakilan ahli Quran itu dipilih menjadi gubernur baru Mesir. Tetapi, di tengah perjalanan menuju Mesir, ada sebuah surat misterius yang berstempel khalifah Utsman, yang direbut dari seseorang yang bertingkah mencurigakan. Si gubernur baru yang membawa surat pengangkatan resminya dari khalifah itu pun murka melihat surat lain yang sama-sama berstempel khalifah berisi perintah kepada militer Mesir untuk membunuhnya.

Itulah sebab awal mengapa Madinah digeruduk demonstran besar-besaran hingga menjadi titik awal perpecahan umat Islam sebelum akhirnya semakin tercerai berai di kemudian hari. Kabar hoax itu memang sangat berbahaya, apalagi jika itu urusannya kekuasaan. Sejak Utsman di bunuh para pemberontak dengan keji, jazirah Arab menjadi mencekam. Puncaknya ketika Yazid bin Muawiyah berkuasa, pembantaian 200 ribu orang terjadi hingga banyak orang memilih mengungsi ke seluruh penjuru dunia. Dari para pengungsi itulah, kita mengenal persebaran agama Islam.

Maka dari itu, ketimbang do pethenthengan mbahas pilpres yang sangat absurd itu dan kampanyenya penuh dengan hoax dari kedua kubu, mari kita asyik-asyikan saja. Sudah tidak mungkin kita mendapatkan pemimpin sekaliber Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Sekaliber Utsman dan Ali saja, akhirnya harus terjungkal karena umat termakan hoax secara beruntun. Jadi mari kita akui dengan fair bahwa sebenarnya kepemimpinan umat Islam itu memang aslinya sudah tercerai berai sejak zaman akhir Utsman bin Affan. Setelahnya yang kita tonton dalam sejarah adalah supremasi kekuasaan para raja, kadang berpihak pada kepemimpinan Islam, kadang juga merugikan peradaban Islam. Maklum, orientasi mereka adalah kekuasaan, bukan kepemimpinan.

Bukan berarti ini seruan untuk apolitis, tetapi pahamilah bahwa hidup bersama dengan pendekatan budaya dan bebrayan agung, itu lebih dibutuhkan saat ini ketimbang kita bertengkar dengan kubu-kubuan politik. Sebab siapa pun yang menang dalam percaturan politik saat ini, para pemodallah yang berkuasa. Karena para paslon itu didanai oleh para pemodal, bukan oleh rakyat. Sekemput-kemputnya rakyat urunan, paling rak yo mung sak cepek to. Rakyat itu cuma ikut ramai dan cangkeman kampanye. Nanti kalau paslonnya jadi, prioritas pengabdian mereka ya untuk para pemodal yang membiayai, bukan rakyat yang telah mereka apusi. Rakyat saja yang selalu GR merasa dibalas jasanya. Gundulmu.

Coba kita terapkan beberapa pesan Nabi ini, barang siapa beriman pada hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya, hendaklah ia menjaga perasaan tetangganya. Kemudian kita terapkan perintah Allah, “hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” dalam konteks yang kecil-kecil saja dulu, yakni keluarga kita. Jika kita menjaga keluarga, menghormati tamu, dan membikin nyaman tetangga, apa kita tidak bisa menyelenggarakan kehidupan sosial yang asyik to ya. Kenapa harus ada negara yang semerepotkan ini? Jadi sewajarnya saja. Berpolitik pun, ya sewajarnya saja. Sewajarnya itu maksudnya jangan ngumumi kancane. Sebab umume orang-orang berpolitik sekarang itu pethenthengan ra ukur, baik paslonnya maupun para pemujanya.

Surakarta, 7 Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.