Islam adalah agama yang sangat menekankan standar kualitas sebagai hal primer, sedangkan kuantitas hanya bersifat sekunder atau pelengkapnya. Maka Islam tidak memberlakukan demokrasi pada semua hal, ada hal-hal asasi dan tidak mengenal adanya demokrasi, ada hal-hal yang boleh diputuskan secara demokratis.
Dalam memandang manusia, Islam meletakkan seorang manusia senilai dengan seluruh manusia, dan seorang mukmin senilai dengan dunia seisinya. Artinya menyakiti manusia tanpa hak, maka sama dengan menyakiti seluruh manusia, apalagi menyakiti seorang mukmin. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian kualitas manusia sangat ditekankan sebelum berbicara soal jumlah (kuantitas).
Itulah mengapa dalam berbagai kisah orang shalih, banyak variasi dan hal-hal yang tidak sebanding secara kuantitatif satu sama lain. Banyak sekali kabar tentang masuk syurganya seseorang dengan berbagai jalan amal yang masing-masing tidak dapat dibandingkan dengan cara kuantitatif atau dengan pendekatan statistik. Ada yang ibadah mahdlahnya biasa-biasa saja, tapi tak pernah menyimpan benci dan dendam, disebut Rasul sebagai penghuni syurga. Ada yang karena berbakti pada ibunya, ada yang karena memberi minum anjing dan membiarkan dirinya mati kehausan, dll. Hal ini hanya bisa dipahami jika kita memiliki premis bahwa yang membuat Allah ridha dengan mereka karena kualitas niat dan keikhlasan dalam hati mereka.
Para Nabi pun tidak direndahkan di hari akhir nanti jika dia tak dapat pengikut yang banyak. Allah memuliakan mereka semua tersebab kegigihan perjuangan mereka mengenalkan ajaran tauhid sesuai tantangan di zamannya. Rasulllah sendiri pernah dilipatkan waktunya sehingga diajak tour oleh Jibril melihat suasana ketika umat manusia dikumpulkan bersama para Nabi yang diikutinya. Ada Nabi yang pengikutnya banyak, ada yang sedikit, ada yang cuma seorang, ada yang tak berpengikut. Dan tidak ada komentar dari Jibril, “lihat tuh, nabi yang gagal menjalankan tugas”. Tidak ada komentar semacam itu.
Itulah mengapa meskipun jumlah pasukan muslim yang cuma 300 orang mampu menghancurkan 1000 orang Quraisy yang persenjataan dan perbekalannya lebih banyak dan mapan di Badr. Perang Hunain juga dimenangkan umat Islam setelah tercerai berai dan tinggal beberapa ratus orang saja. Artinya dari 10 ribuan pasukan yang berangkat perang, hanya ratusan orang yang efektif memberi pukulan telak pada musuh.
Kaidah ini terus berlaku di zaman berikutnya. Di antara banyak ulama yang ada, satu dua ulama saja yang dikenal paling alim dan berani merevolusi pemikiran umat Islam di zamannya setelah di rusak penyakit rakus harta, kekuasaan, dan ketersesatan ilmu. Satu dua manusia yang teguh hatinya, mampu menyinari zamannya dan menjadi jalan hidayah Allah atas manusia. Namun semakin ke sini, sinar yang dipancarkan itu berusaha ditutupi dengan ilusi, manpulasi ilmu, dan berbagai hijab kebodohan. Yang membuat sinar itu hilang tak menembus lagi, ketika hati manusia dipenuhi penyakit seperti iri, dengki, sombong, mau menang sendiri, dan enggan mendengarkan suara sejati.
Di zaman ini, kita ditipu mentah-mentah dengan HAM dan demokrasi di segala bidang. Sebagaimana dijelaskan di awal, Islam tidak sepenuhnya menolak gagasan demokrasi, tapi tidak mendemokrasikan semua hal. Karena ada hal-hal asasi yang harus dijalankan manusia tanpa kompromi, itu mutlak aturan Allah, seperti pernikahan, peribadatan mahdlah, dll. Walau di dalamnya ada potensi perdebatan teknis soal pelaksanaannya, tapi kerangka besarnya tidak memperkenankan manusia demokratis terhadapnya, seperti bikin aturan bolehnya hubungan sesama jenis atau menambah aturan baru rukun Iman dan rukun Islam.
Maka sangat relevan ketika kita mengajukan pertanyaan seperti ini. Sekarang jumlah masjid sangat banyak, jumlah orang berpakaian Islami terus bertambah, jumlah pemeluk Islam terus bertambah, jumlah orang shalat terus bertambah, jumlah haji apalagi, sampai antri untuk berangkatnya. Namun mengapa justru terjadi ironi dalam ukhuwah. Makin banyak persaingan menguasai masjid, makin banyak percekcokan rebutan umat, dan saling menjelekkan satu sama lain. Ini pertanda bahwa kita masih harus banyak introspeksi diri, bahwa kualitas ke-Islam-an kita ya belum ada apa-apanya. Kita baru senang ber-Islam secara fisik (syariat) saja, belum mengiringinya dengan ma’rifat dan hakikatnya.
Alangkah rindunya saya ingin mendengar orang-orang yang pulang dari haji nanti mampu menjadi pembangkit jiwa umat. Mereka menjadi motor kebangkitan umat yang sudah bertahun-tahun ditendang pengusa, diinjak-injak martabatnya oleh media, dan dikepung oleh kapitalisme. Tapi seberapa besar keinginan itu jika fenomena haji justru menjadi obyek kapitalisme para stakeholdernya. Apalagi setiap tahun, jumlah orang tertindas dan miskin makin banyak, padahal yang disebut Pak Haji dan Bu Haji makin banyak. Ini ironi juga.
Makanya kalau kita menggelar doa bersama dan mengajak sebanyak mungkin manusia, itu bukan mengejar akumulasi doanya. Tapi dengan banyaknya orang yang hadir, siapa tahu satu atau dua orang di antara jamaah itu, memenuhi syarat doanya dikabulkan oleh Allah. Jangan geer lah kita dengan kesolehan kita. Negeri kita yang penuh kemusyrikan dan kerusakan ini tidak dihancurkan, boleh jadi karena satu dua orang hamba yang menangisi dengan tulus setiap malam. Sehingga efek doanya juga menyinari pemimpin kita, agar tidak keji-keji amat saat berkuasa. Karena para penguasa tidak mem-Firaun-kan dirinya terus menerus, kadang masih takut sama Allah akibat melihat pancaran kewibawaan salah satu rakyatnya, maka kita masih diberi tenggang waktu untuk bertaubat massal, meskipun entah kapan kita mau bertaubat juga secara massal.
Memasuki zona perang asimetris saat ini semakin terasa betapa pentingnya kualitas umat secara pribadi maupun sosial. Perang asimetris adalah kondisi perang yang rumit karena diselubungi dengan ilusi, tipuan, saling memperalat, dan menghancurkan yang lain melalui tangan atau situasi yang lain. Jika individu-individu umat Islam tidak berdaulat dan mudah distir aneka informasi yang mengadu domba, maka tatanan sosial umat kacau balau karena salin bertengkar pada hal-hal yang tidak penting. Maka perang asimetris semacam ini harus dihadapi dengan ketulusan hati dan kejernihan pikiran dengan kembali pada prinsip kemanusiaan dalam Islam, serta menjauhkan diri dari fanatisme. Perang asimetris menuntut kemampuan di segala medan dan tidak berkumpul di satu tempat saja. Perang asimetris menuntut sinergi di segala bidang yang disatukan ukhuwah, bukan klaim-klaiman merasa paling berhak memimpn dan paling benar sendiri.
Maka mari kejar kualitas dalam setiap tindakan kehidupan kita. Kuantitas sesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan yang tersedia.
Ngawen, 12 September 2016