Dari pelajaran ilmu alam yang pernah saya lahap, fisika adalah ilmu yang tingkat kleniknya paling tinggi. Hingga sekarang saya masih penasaran untuk memahami apa yang membuat suatu materi itu memiliki massa.
Padahal jika ditinjau dari sisi makro kosmos hingga partikel paling elementer, hal yang paling dominan adalah ruang kosong. Saking dominannya ruang kosong, bisa dibayangkan seandainya atom adalah stadion maka inti atom adalah sebesar bola sepak dan ruang kosongnya sebesar stadion itu dengan elektron yang pating sliwer.
Pendek kata, sekiranya hal yang sangat misterius itu terpecahkan, tidak menutup kemungkinan rumusan-rumusan fisika yang telah dibakukan saat ini ambyar berkeping-keping. Karena rumusan-rumusan fisika yang sekarang belum bisa digunakan secara general untuk membaca fenomena-fenomena yang dikategorikan “metafisika”.
Dan begitu terbatasnya ilmuwan sains modern mempelajari fenomena yang dianggap “metafisika” ini, mereka tidak bisa menjelaskan hasil karya leluhur kita seperti keris, lipatan waktu, dll. Lalu cara menyimpulkan paling gampang adalah bahwa itu semua klenik dan takhayul. Padahal asline merga ra tekan mikire dan tidak semengerti leluhur kita dulu.
Dan cara pandang rasional ateistik para ilmuwan sains modern ini secara tidak langsung diadopsi oleh sebagian generasi dakwah Islam milenial yang anti tasawuf. Mereka memandang bahwa ajaran Islam itu cuma syariat sehingga sehari-hari mereka menjadikan laku syariat itu sebagai ukuran untuk menilai orang lain. Masing-masing saling mengawasi dan biasanya “mengghibah” dengan syar’i karena mengklaim tindakan orang yang tidak dikenalnya itu salah. Tidak melalui mekanisme bahtsul masail, langsung dijatuhkan vonis berbasis desas-desus.
Dan yang paling fatal adalah lahirnya dikotomi agama dan sains. Padahal dikotomi itu muncul dari umat Islam yang tidak menggali al Quran sehingga dia menganggap al Quran hanyalah kitab agama dan pemikiran ilmuwan barat adalah rujukan sains. Modaro dhewe.
Juwiring, 26 September 2017