Bagi yang memahami hakikat menjadi rakyat, maka negara adalah sarana yang dibentuk untuk melakukan tugas-tugas fardhu kifayah, ia harus dijaga dan dirawat agar tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil dan serakah.
Jadi partisipasi sebagai warga negara adalah bagian peran kemanusiaan kita dalam rangka ngurip-urip negara ini, karena menurut keyakinan kita NKRI lebih baik dan lebih berhak dibela dari pada yang lainnya. Tapi kalau dimutlakkan bahwa NKRI harga mati, ya nanti dulu lah.
SOP-nya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila yang sebenarnya sangat Islami (jika harus diungkapkan demikian). Umat agama lain saja menerima, apalagi umat Islam, seharusnya lebih menerima karena term-term di dalamnya menginduk pada khazanah Islam yang jelas-jelas definisinya ada dalam catatan sejarah peradaban Islam.
Tapi ruang pergerakan mahasiswa modern saat ini rata-rata, kalau nggak ngikutin trend kiri, timur tengah, ya gaya liberal negara-negara post-modern. Malah jarang yang menggali nilai-nilai luhur Pancasila yang dipadukan dengan realitas sejarah Islam di Nusantara dan fase-fase peradaban yang mendahuluinya. Kaburnya sejarah dan lebih banyaknya hoax membuat generasi muda sekarang juga nge-blur pola pikirnya.
Makanya tidak heran jika kebanyakan aktivis-aktivis sekarang kalau tidak jadi sales dan marketing ideologi-ideologi impor ya jadi kaum permukaan yang bergerak di ranah sosial tapi sebenarnya distir oleh berbagai kepentingan jahat yang memanfaatkan ketulusan mereka. Ini bahaya, generasi tanpa jatidiri dan pemahaman keimanan yang mendalam rawan menjadi liberal atau radikal.
Jika era ini saja, yang masih banyak generasi tuanya sudah tidak berdaya menjadi rakyat yang sebenar-benarnya rakyat, sehingga moral publiknya kian remuk dan generasinya semakin tidak nggenah, akan seperti apa wajah peradaban nanti jika generasi muda sekarang kebanyakan hanya hidup dalam khayalan gadget dan uang. Mau berharap apa pada mereka yang seperti itu?
Mari berupaya sejak sekarang, sebelum semakin teruk.
Juwiring, 23 Maret 2016