Ada banyak teori konspirasi yang ditebarkan saat ini. Sampai-sampai kita sering mendengar lelucon konspirasi Wahyudi, Brownis, dan Remason (plesetan untuk konspirasi Yahudi, Zionis, dan Freemason). Banyak kisah konspirasi yang lucu-lucu, saking pekoknya saya pernah melihat munculnya Meme bahwa penjual warung di Banten yang kena grebeg satpol PP adalah agen dari CIA. Wkwkwkwk
Saya tetap percaya adanya konspirasi, tetapi tidak sekonyol itu. Saya berusaha mencari-cari analisis pemikiran yang paling logis dan sesuai dengan kaidah dasar syariat Islam yang ada dalam al Quran. Akhirnya sampai saat ini, saya paling tertarik dengan analisis cemerlang Syaikh Imran Nadzhar Hosein, seorang ulama bermadzhab Hanafi, yang pernah menjadi praktisi dalam persoalan ekonomi global sebelum akhirnya memutuskan untuk lebih mendalami ajaran Islam dan menyeru tentang bahaya riba.
Riba itu adalah kunci penting dalam teori konspirasi yang ditawarkan oleh Syaikh Imran. Dan itu adalah hal pokok yang disinggung dalam al Quran agar ditinggalkan dan diberangus umat Islam. Tenang, jangan langsung berang. Bagi Anda yang jadi pegawai bank maupun yang anti bank jangan langsung berkonflik, karena urusan riba ini tidak sesederhana Anda melecehkan pegawai bank sebagai petugas kantor riba lalu Anda yang tidak pernah berinteraksi dengan bank lantas merasa aman bahwa Anda tidak melakukan riba. No, karena kita saat ini hidup dalam pusaran ekonomi ribawi 100 %. Ya 100 %. Kata beliau.
Apa unsur pokok dari riba? Ketidakadilan. Di zaman sebelum ada sistem ekonomi serumit ini, riba berjalan antara orang per orang. Di mana ada orang yang terjerat kebutuhan, maka dia meminjam orang lain. Karena sifat individualisme yang ada saat itu, si peminjam mau tidak mau mematuhi syarat yang diajukan pemberi pinjaman, misalnya berupa tambahan pengembalian. Itulah titik kejahatan mengapa Allah tegas melarang riba, karena di dalamnya bersarang segala bentuk pemerasan dan perampokan harta. Jika si peminjam ini sangat patuh dengan syarat, maka dia bisa tergiur untuk menjadi perampok demi mengembalikan uang yang dipinjamkan padanya dan bunga yang dibebankan pada pinjaman itu. Artinya setelah si pemberi pinjaman berbuat jahat dengan memberi tambahan beban pengembalian dan ancaman penyitaan aset, si peminjam harus berjuang untuk mengamankan asetnya dengan berbuat jahat kepada pihak lain lagi.
Makanya dalam Islam, yang ditanamkan bahwa dalam jual beli adalah asas tolong menolong. Artinya dalam berdagang itu yang terpenting adalah saling melengkapi kebutuhan dengan bertukar sesuatu. Makanya hakikat keadilan dalam perdagangan itu menurut Islam tidak bersifat kuantitatif, tetapi kualitatif, berdasarkan kerelaan antar pelaku perdagangan. Meskipun si penjual mematok harga 1 dinar, si pembeli boleh menawar jika tidak punya uang sejumlah itu atau malah membeli 5 kali lipat karena gembira ingin bersedekah. Selain itu, perdagangan dalam Islam berkaitan dengan kebutuhan pokok, tidak rewel kayak zaman kita yang apa-apa dianggap kebutuhan pokok, padahal tidak. Karena hakikat tolong menolong semacam ini dijalankan, maka dengan sendirinya kehidupan ekonomi umat Islam sangat berkeadilan. Orang yang tidak kuat beli, biasanya hutang dulu, si penjual karena ingin bersedekah akhirnya membebaskan hutang atau menjual dengan harga rendah sekali. Tentu saja, cara jual beli semacam ini sudah tidak bakal kalian jumpai di mall yang semua harganya pas. Ra duwe duit, ngemuta driji wae nde.
Nah, konsepsi riba sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Rasulullah lahir. Menurut saya, hakikat riba itu memang berawal dari rasa tamak seseorang untuk menguasai harta orang lain dengan cara yang tidak jujur. Makanya dalam berjual beli mereka melakukan manipulasi, entah dengan model menindas seperti saat meminjami uang pada orang yang kepepet atau melalui manipulasi jual beli, bilang bagus ternyata barangnya jelek. Dalam hukum fikih jenis-jenis riba adanya, saya tidak perlu membeberkannya di sini, toh yang penting kita tahu prinsipnya bahwa riba itu memang berawal dari kebohongan yang terus dikemas dalam kebohongan baru sampai akhirnya rumit seperti hari ini. Dan dalam keadaan yang sangat parah seperti saat ini, kita semua beriman pada sistem ribawi itu tanpa ada kecurigaan lagi. Itulah masalah serius kita.
(bersambung)
Juwiring, 6 Oktober 2016