Orang Madura itu forklor-nya sangat substansial dan mendasar. Kadang justru kita bisa belajar mikir.
Misal ditanya tentang hukum fikih sesuatu hal, semua dijawab “NDAK TENTU”. Meskipun simpel, ini justru mendasar, bahwa hukum fikih tidak lepas dari sikon-nya. Yang penting kita tahu proporsinya.
Shalat 5 waktu itu wajib kan. Jelas banget, jangan berdebat. Tapi bisa jadi haram lho kalau shalat zuhur dilakukan pada waktu matahari terbit. Nasi itu halal kan. Tapi kalau nasi curian? Hayo apa hukumnya. Sedekah itu bagus kan. Kalau sedekah dari hasil korupsi? Hayo apa hukumnya. Maka pengajaran fikih kepada umat Islam itu hendaknya ditekankan pada kaidah-kaidahnya agar tetap bisa mikir dan tidak jadi korban duel aliran, yang diublak oleh media sehingga terpecah belah seperti sekarang.
Contoh lainnya adalah saat seorang Kiai Madura diprotes oleh TNI dan polisi (waktu itu Orde Baru) karena pesantrennya mengadakan acara yang mengundang pembicara nasional tetapi tidak membuat izin, padahal setidaknya pihak korem dan polda tahu. Maka terjadilah perdebatan,
“Pak Kiai, mosok acara sebesar ini dengan pembicara tingkat nasional tidak ada izinnya. Harusnya diurus dong izinnya. Atau kami bubarkan acara ini”
“Lho, sampeyan nyuruh-nyuruh saya izin sama siapa. Sama NKRI to. Itu negara berdiri kapan?”
“Ya tanggal 17 Agustus 1945 itu. Masak Pak Kiai lupa.”
“Lho pesantren saya ini didirikan tahun 18xx. Sampeyan dulu bikin negara aja belum izin sama saya, kok sekarang main suruh-suruh minta izin. Yang harusnya minta izin duluan siapa?”
Di kisah yang lain ada nelayan Madura yang ditangkap oleh polisi laut Malaysia karena memasuki perairan. Sang nelayan tidak terima, ia dipersalahkan karena melanggar batas teritorial. Sang nelayan gantian melabrak polisi, “Pak Polisi, sampeyan ndak tahu ya, saya ini sudah capek-capek mengejar ikan tangkapan saya malah ditangkap. Itu ikan warga negara mana?”
Hari ini, hal-hal yang bersifat mikir semacam itu susah dicerna. Karena guyon hari ini dianggap cuma buang-buang waktu. Buang-buang waktu mbahmu.
(Terinspirasi oleh Emha Ainun Nadjib)
Juwiring, 21 Maret 2016