Ini adalah tafsir hasil belajarku bersama Maiyah. Forum Maiyah adalah forum bebas yang di sana dipertemukan berbagai kajian dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu. Saya sudah mengetahui forum ini cukup lama, tapi baru mulai intensif belajar sejak tahun 2013 dengan aktif mengikuti rekaman-rekaman di YouTube dan membaca karya literasinya.

Karena tulisan ini bersifat tafsir, tentu saja isinya dialektik, bisa didiskusikan lebih lanjut bahkan bisa diperdebatkan atau mungkin akan pembaca sanggah dengan argumentasi yang dimiliki. Dan saya persilahkan pembaca memberikan sumbangsih pemikiran seluas-luasnya atas tulisan ini. Kita belajar untuk menggunakan anugerah Allah yang berupa akal pikiran dan kesadaran sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna.

Tema yang saya angkat pada tulisan ini berawal dari sebuah diskusi antara Sabrang (Noe Letto) dengan Cak Nun tentang konsep Universitas. Paradigma tentang Universitas terkadang tidak kita pertanyakan lagi apakah yang berlaku sekarang itu sudah tepat atau belum. Dan sudahkah kita memikirkan sebuah universitas yang ideal, yakni universitas kehidupan. Seperti apakah itu? mari kita kupas dengan sabar.

Potret Universitas Hari Ini

Dalam diskusi tersebut ditelaah bahwa universitas yang beroperasi di Indonesia ini mirip seperti rumah besar yang berisi kamar-kamar (dan itulah jurusan) dengan satu pintu utama. Mahasiswa ibarat orang yang masuk rumah besar tersebut lalu masuk ke kamarnya masing-masing.

Apa yang terjadi? Ya mereka menikmati dunia mereka sendiri-sendiri dengan khayalan dan definisi selebar ruang kamarnya itu. Apa ujungnya? Coba kita bayangkan. Kemungkinan akan terjadi perbedaan, perdebatan dan aneka masalah yang tidak terselesaikan saat sebuah isu atau permasalahan dilontarkan. Karena setiap orang kekeuh dengan definisi yang telah mereka patenkan di kamar masing-masing.

Jika kita tarik ke ranah yang bernama praktik bernegara, mengapa negara kita susah sekali dibenahi? Mari kita curigai barangkali salah satunya adalah masalah fundamental pendidikan yang tidak beres semacam ini. Bayangkan jika profesor matematika sampai harus berdebat dengan profesor fisika dan profesor astronomi tentang kebenaran 6 x 4 atau 6 x 4. Maaf, saya tidak bermaksud menghakimi, tetapi mengajak pembaca semua merenungkan permasalahan yang sangat terang dan mendasar ini.

Universitas Kehidupan

Lalu bagaimana seharusnya konsep universitas seharusnya? Lagi-lagi ini hanyalah sebuah penafsiran berdasarkan realita sejarah. Kita adalah bangsa yang sebenarnya dikaruniai kebesaran peradaban dan memiliki warisan nilai peradaban yang besar. Tapi mata air tersebut seolah terputus karena hari ini kita tertutupi oleh kabut tebal paradigma berpikir yang seperti rumah berkamar tadi.

Mari coba kita khayalkan bahwa universitas itu ibarat sebuah bangunan besar yang terdiri atas banyak pintu. Pintu-pintu tersebut adalah jurusan-jurusan yang kita masuki saat mendaftar di kampus. Begitu kita memasuki pintu-pintu tersebut, kita terus merangsek ke dalam dan menemukan kebersamaan bahwa hakikatnya kita menuju satu titik. Itulah hakikat dari pencarian ilmu yang selama ini kita lakukan. Allah azza wa jalla.

Jika paradigma kita seperti ini, maka kehidupan ini amat luas dan kita dapat belajar dari mana saja untuk menemukan sebuah jalan mengenal Allah. Karena setiap pintu yang benar itu akan mempertemukan kita satu sama lain.

Saat kita belajar ilmu alam kita kagum dengan kerumitan yang indah sebagai sebuah desain dari yang Maha Besar. Saat kita belajar ilmu kedokteran dan biologi kita kagum dengan desain tubuh makhluk hidup yang begitu unik dan rumit. Dan dalam cabang ilmu sosial pun kita pasti menemukan aneka kekaguman yang tak pernah terbayangkan. Dan coba perluas eksplorasi kita pada disiplin ilmu lainnya yang selama ini kita kenal. Dan jika kita buka al-Quran semua kembali terangkum dalam kitab yang mulia itu.

Dengan metode ini, maka kita akan mengerti makna suara Adzan yang sering kita dengar setiap hari. Saat takbir dikumandangkan kita jadi bergetar dan kagum. Kagumnya kita karena ada alasannya, bukan sekedar pengetahuan kognitif bahwa allahu akbar itu diterjemahkan bahwa Allah Mahabesar. Bukankah kita selama ini lebih sering menjalani hidup dan mengalami peristiwa yang tanpa makna, bahkan mungkin tanpa alasan apa-apa? Kering sekali bukan?

Mungkin ini seperti mengkhayal, tapi bukankah tugas kita dalam hidup adalah mengingat Allah dan menjalankan amanatnya di muka bumi. Bagaimana kita bisa menjadi khalifah jika kita memutus mata air rabbani ini? Bagaimana kita akan paham apa yang perlu kita lakukan jika paradigma berpikir kita masih sekuler dengan mengkotak-kotakkan masalah dan menolak hakikat yang sangat jelas ini?

Mari kita merenung lagi, jangan-jangan perjalanan belajar kita hingga dewasa ini terus menjauh dari universitas kehidupan ini. Kita seolah belajar tetapi sebenarnya justru menghancurkan fitrah kecerdasan yang Allah turunkan di sanubari kita untuk mengenal kehidupan ini sebagai sebuah sistem yang utuh. Tapi karena cara kita belajar seperti memasuki rumah berkamar dan cuma berkutat di sana, justru itu merusak tatanan manusiawi karena kita terkotak-kotak cara berpikirnya.

Meneguhkan Kedirian

Lalu bagaimana kita melanjutkan kehidupan ini? Mari kita ingat atau coba kita berimajinasi tentang ayat Quran yang mengilustrasikan bagaimana Allah meminta persaksian ruh-ruh manusia sebelum ditiupkan ke dunia. Bukankah ini sebenarnya bentuk perjanjian antara kita dengan Allah?

Kita bersaksi sendiri kepada Allah. Kita menjalani fase kehidupan pra-dunia juga sendirian. Kemudian kita dilahirkan kedunia. Di tengah hiruk pikuk dunia ini kita juga membuat keputusan sendiri yang nanti akan dipertanggungjawabkan sendiri. Meskipun kita hidup berkeluarga, membangun keluarga baru, berorganisasi, bermasyarakat, bukankah itu adalah ruang aktualisasi atas setiap keputusan hidup kita. Dan bukankah setiap keputusan itu nanti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?

Dengan demikian, hal mendasar ini membuat kita tidak lagi pusing soal belajar kita. Kita belajar dari kehidupan, menyelami khazanah kehidupan yang begitu luasnya. Muara kita satu, semakin mendekat dan mengenal Allah. Dan jika kita mau berendah hati dengan penuh kesadaran, maka pesan Quran dan pengajaran Rasulullah adalah jalan yang semestinya kita pilih untuk mempercepat proses pengenalan itu dan membimbing kita dalam menafsirkan kehidupan ini agar lebih dekat dengan apa yang kita cari selama ini, kebenaran. Dan ujung pangkal kebenaran itu adalah dzat yang Mahabesar, Allah azza wa jalla.

Mengapa di hari ini kita justru mudah terombang-ambing dengan aneka paham, ideologi, fikrah yang seringkali kita tempatkan secara salah. Ia hanya perangkat untuk kita belajar dan menemukan Allah. Terkadang kita justru menjadikan perangkat itu agama dan bahkan lebih parah lagi, ada yang menjadikannya sebagai tuhan yang baru. Ini bukan lagi zamannya berhala berwujud patung, tetapi ini zamannya berhala adalah obsesi duniawi dan segala penyimpangan dari tujuan hakiki.

Saya menulis esai ini jadi merinding. Tapi kita harus terus merenungi perjalanan belajar kita agar kita tidak menyesal karena telah hidup. Hidup adalah anugerah Allah, dan dengan anugerah itu kita tak boleh gagal untuk meraih keridhoan-Nya. Menjaga agar ingatan dan kesadaran kita agar Allah selalu hadir di setiap detik kehidupan kita.

Surakarta, 12 Desember 2014 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.