Pandangan Hidup MuslimBuku ini adalah bagian dari sarana perjalanan saya mengenali siapa sebenarnya “orang tua” saya dan semua generasi muda negeri ini. Yah, mencari orang tua hari ini bukan saja sulit, tetapi sering kali tersesat. Betapa tidak, orang tua adalah bagian terpenting dari kehidupan seseorang bukan. Maka tak mengenal orang tua dan nasab sebenarnya masalah serius bagi seorang anak untuk menemukan mata airnya.

Orang tua yang saya maksudkan di sini memiliki bukan merupakan orang tua biologis seperti pemahaman mainstream kita. Orang tua yang saya maksud adalah generasi sebelum kita yang menyambung mata air peradaban nenek moyang kita sehingga kita sebagai generasi penerus bangsa hari ini tidak kehilangan pijakan dan arah dalam meneruskan kehidupan, serta mengemban tanggung jawab membela tanah air.

Dewasa ini, pasca dibukanya kran reformasi, berikut segala kebocorannya yang dahsyat kita mengalami kebingungan yang sangat. Jika kita beruntung, maka kita menemukan esensi kemerdekaan yang luar biasa untuk belajar dan menggali khazanah kehidupan yang sebelumnya dikungkung oleh rezim yang hampir-hampir membuat kita buta tentang sejarah. Tapi jika kita gagal mendapati hal itu, bukan saja semakin bingung, kita pasti akan semakin tersesat dalam jurang pemikiran yang bervariasi dan aneh-aneh.

Maka perlu kita kembali mengenal siapa “orang tua” kita yang sebenarnya yang telah berjasa dalam mendirikan negeri ini dan menjadi bagian pewaris peradaban Nusantara sebelum berdirinya NKRI. Karena dengan jebolnya pintu pertahanan kebudayaan pasca reformasi, semua ideologi bisa masuk untuk mencari anggota-anggota baru di Indonesia. Maka dari itu, mengenal orang tua kita berarti kita akan menjadi bagian penting yang mengelola ideologi-ideologi yang baru itu agar tidak menjadi liar dan menghasilkan perpecahan bagi bangsa ini.

Buku, “Pandangan Hidup Muslim” adalah salah satu buku hikmah yang ditulis oleh salah satu tokoh bangsa, Buya Hamka yang merangkum khazanah pemahaman tasawuf-nya menghadapi realitas zaman yang telah dipenuhi oleh kapitalisme. Buku ini merangkum tulisan-tulisan beliau di rubrik majalah Pandji Masyarakat di era tahun 1959. Berbagai tema beliau kembangkan dengan satu tujuan, yakni bagaimana kita sebagai seorang muslim memaknai hakikat kehidupan ini dan memandang setiap peristiwa dengan kacamata tauhid.

Buku ini masih sangat relevan untuk dibaca hari ini. Jika tahun itu saja, beliau sudah melihat adanya potensi kerusakan parah di tubuh umat Islam Indonesia akibat pengaruh kapitalisme, apalagi hari ini di mana setiap orang sudah ditipu habis-habisan dengan opini. Bahkan umat Islam terus diadu dengan berbagai pemahaman agama yang bukannya mempersatukan tetapi saling bermusuhan satu sama lain. Sisi kelembutan Islam dalam dakwah dan memaknai hidup semakin kabur oleh lautan kebencian dan kedengkian yang terus ditabur oleh agen-agen pemecah belah umat.

Buku ini sangat disarankan untuk dibaca, terutama oleh generasi muda pergerakan Islam yang hari ini mulai menjadi yatim piatu. Yatim piatu secara fisik tidak menjadi masalah, tetapi ini adalah yatim piatu secara nasab dan akar pemikiran peradaban. Ini masalah serius dimana kita akan mudah diadu domba satu sama lain hingga akhirnya kita hancur sendiri karena perpecahan yang kita lakukan.

Hamka, Soekarno, M. Natsir, M. Hatta, Kasman Singodimejo, Jend. Soedirman, Tan Malaka, HOS Cokroaminoto adalah orang tua kita yang paling dekat nasabnya. Merekalah para negarawan yang meneruskan cita-cita leluhur dan mbah-mbah kita dahulu, baik para ulama dan pandita yang berjasa menjadi payung peradaban Nusantara yang telah ribuan tahun berdiri ini. Merekalah generasi yang meneruskan dakwah Islam Rasulullah yang lebih sesuai dengan karakter masyarakat Nusantara ini.

Bukan berarti kita menafikan tokoh-tokoh besar yang berjasa di dunia Islam seperti Jamaluddin al Afghani, Hassan al-Banna, Fathi Yakan, Sayyid Qutb dan orang-orang yang hidup semasa dengan bapak-bapak kita tersebut. Tetapi kita harus memposisikan mereka sebagai paman-paman kita yang kita gali pemikirannya tetapi tidak kita copas secara mentah tanpa diolah. Dan bapak-bapak kita itulah sosok teladan terdekat bagi kita dalam mengolah semua mata air kecemerlangan Rasulullah agar menjadi pandangan hidup umat Islam di Indonesia.

Surakarta, 23 Maret 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.