Hasil dari proses memahamiku selama ini, ILMU itu lebih tinggi dari IDEOLOGI. IDEOLOGI itu buatan manusia berdasarkan kemampuannya memahami, setelah ia mendapatkan ilmu. Orang yang terjebak pada fanatisme ideologi akan cenderung jumud dan jadi fansboy yang mudah diaduk-aduk oleh kepentingan. Apa lagi jika IDEOLOGI sudah dimanifestasikan menjadi METODE atau MANHAJ. Lebih ngeri lagi jika MANHAJ dikukuhkan dengan lahirnya lembaga dan organisasi, terjadilah monopoli pemikiran. Di tangan orang-orang yang malas berpikir, monopoli pemikiran akan menjadi picu yang menarik mereka untuk diadu domba. Dan hari ini kita saksikan kekacauan itu semuanya.

Karena ilmu itu mendasari lahirnya ideologi, maka saya tidak sepakat dengan pernyataan bahwa ISLAM adalah IDEOLOGI. Islam adalah kemenyeluruhan dari semua nilai fitrah yang menghubungkan manusia dengan Allah dan membuat manusia dapat menjadi khalifah di bumi, yang dipraktekkan dengan sempurna oleh Rasulullah Muhammad s.a.w sehingga dapat diteladani oleh semua manusia, baik yang pro dengannya maupun yang kontra. Dengan ISLAM itu, orang yang beriman pada Allah maupun tidak beriman bisa mengambil inspirasi untuk menata dunia ini sesuai dengan kemampuannya menyerap dan memahami. Jadi ISLAM lebih tinggi kedudukannya dari sekedar IDEOLOGI.

ILMU sendiri adalah pancaran cahaya dari Allah. Memberikan ilmu pada seseorang adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya menempuh syariatnya, dengan belajar kepada guru, membaca, menganalisis, dan menemukan pola-pola dalam kehidupan yang dijalaninya. Maka para NABI adalah orang-orang yang mendapatkan keutamaan ilmu lebih dari manusia pada umumnya, karena mereka disamping melakukan kerja keras secara manusiawi dalam dimensi spiritual, Allah berkehendak memilih mereka dan menganugerahkan kepada mereka percikan cahaya-Nya.

Maka dari itu, menurut saya ilmuwan sejati itu ya para NABI, kemudian para pewarisnya, yakni para ulama. Predikat ulama itu tidak identik dengan Kiai atau yang bergelar Lc seperti yang mainstream terjadi saat ini. Karena keulamaan itu disematkan oleh Allah. Makanya ulama sejati tidak bakal mbagusi, apalagi minta disebut-sebut sebagai ulama. Imam Syafii saja kala itu bisa jadi kuli bangunan di sebuah daerah ketika kehabisan bekal dan butuh uang. Para ulama salaf itu ya seperti umumnya orang biasa ketika berada di tempat-tempat umum. Tidak seleb kayak orang sekarang yang keranjingan selfie.

Dan hari ini, problem ketidakpahaman kita atas ilmu, ideologi, pengetahuan, dan ilusi, serta ketidakmampuan kita membedakan itu semua menjadi sumber dari keruwetan, baik secara pribadi maupun secara sosial. Dan salah satunya terwujud pada buruknya cara beragama orang-orang modern sekarang yang sebenarnya menggebu-gebu mengejar dunia, tapi pandai berkamuflase dengan pakaian agama. Janjane muk arep dodolan, tapi pinter moles dakik-dakik nganggo ayat lan dalil-dalil. Kalaupun mengejar syurga, biasanya karena ketidakpuasan atas capaian materi di dunia, sehingga berharap bisa berpesta emas dan memuaskan nafsu seksualnya di syurga nanti. Ini menurut saya nggilani. Padahal syurga kan ga bisa dibayangkan. Quran cuma memberi perumpamaan. Tapi yang namanya syurga tidak terjangkau akal. Kalau masih bisa dibayangkan, ya bukan syurga namanya.

Dan mari kita nikmati kenyataan bahwa kita hidup di lautan manusia yang bingung. Termasuk kita yang kadang-kadang terpancing untuk ikut-ikutan kebingunan dan kehilangan kendali atas diri sendiri lalu sering jadi satpamnya orang lain. Kebingungan massal ini bahkan membuat kita kesusahan untuk mengenal ISLAM seperti apa yang dulu Rasulullah ajarkan. Apalagi menerapkannya dalam realitas kehidupan kita. Bagaimana mau bisa mengamalkan, wong politik dan ekonomi mainstreamnya sudah di bawah kendali Dajjal. Maka kedaulatan dikembalikan pada diri-diri kita. Itu pun kalau kita masih berdaulat. Kalau ternyata kita adalah jenis manusia bingung, wassalam.

Juwiring, 13 April 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.