Jika mahasiswa-mahasiswa setelah selesai dari kampus tidak berani bercita-cita ngambah desa meneh dan memulai proyek intelektualnya dari alam kebudayaannya sendiri, maka kelak akan lahir generasi yang tidak berdaya. Lha gimana akan berdaya, wong mereka menjauhkan diri dari ruh kehidupannya, dari sumber makanan yang jelas terjamin kehalalannya. Jika yang intelek saja memilih jadi kaum urban, apalagi kaum awam yang dipameri duit dan mobil wis gemruduk ra karuan.
Belajar di kampus, kuliah hingga doktor di luar negeri tak masalah. Tetapi semua itu demi kembali memajukan taraf berpikir bangsanya, bukan malah memprovokasi masyarakatnya untuk bergaya hidup mewah. Karena uang itu ga bisa dimakan. Yang bisa dimakan ya nasi, singkong, dan bahan-bahan yang dihasilkan dari tumbuhan yang ditanam atau hewan yang diternakkan. Jika petani, nelayan, pekebun, dan berbagai pekerja sektor riil saat ini sudah tidak punya kader, apa nanti kita mau makan uang kertas. Atau memang kita nanti akan menikmati aneka makanan kemasan impor yang kita tidak tahu kandungan kehalalannya dan kethoyyibannya. Apa mau njagakke label halal MUI? Wkwkwkwk
Sejak banyak membersamai Pak Suyudi, pendiri Sekolah Alam Bengawan Solo, saya mendapatkan banyak bahan renungan tentang problem serius pendidikan kita. Pendidikan yang dulu diselenggarakan untuk melakukan pemberadaban masyarakat sehingga tercipta sistem sosial yang beradab, ternyata sekarang justru menghasilkan orang-orang pintar yang minteri liyane.
Apalagi jika menyimak nasihat Mbah Nun, Pancasila itu kan konsep berpikir yang sangat urut. Pertama benerin tauhidnya, lalu beradabkan masyarakat lewat pendidikan, lalu konsolidasikan lewat komunitas, parpol, ormas dll, baru susun pemerintahan dengan prinsip kerakyatan, permusyawaratan perwakilan, sehingga tercipta keadilan yang merata. Ternyata, tauhidnya kita agak anu sekarang, bahkan tuhannya bergeser ke Uang yang maha kuasa. Akibatnya lahir konsep pendidikan yang tidak memberadabkan, maka proses pengkonsolidasian baik via ormas maupun parpol hasilnya ya kayak gini. Karena ormas dan parpol justru menjadi pemicu perpecahan nggak karuan seperti sekarang, ya tidak ada lagi konsep kerakyatan, tidak ada lagi permusyawaratan, dan tidak ada lagi konsep perwakilan. Emang wakil rakyat mewakili rakyat? Hahaha. Dan hasilnya, terciptakah keadilan? Belum.
Jadi, yo ayo dilekasi apa yang bisa dilakukan ini. Dadi mahasiswa yo sing tememen le mikir, ra muk nggolek ijazah. Dadi sarjana yo sik tanggung jawab karo ilmune, ra muk dodolan sertifikate. Dadi apa wae sing penting dilaksanakake tanggung jawabe. Hidup itu tentang bekerja. Kecuali memang sejak awal yang dicari bukan kepuasan dan keridhoan. Nah, kalau bukan itu ya, …… ya anu berarti.
Juwiring, 10 Januari 2016