Dahulu istilah sekuler itu sekedar saya kenal sebagai pemisahan antara agama dan kekuasaan negara. Contohnya langsung mleroki negara-negara Eropa dan Turki (sebelum Erdogan dan AKP berkuasa). Cara pandang ini sedikit banyak menimbulkan kesombongan bagi umat Islam yang kemudian tidak introspeksi terhadap virus sekuler yang sedang menjalar dalam tubuhnya sendiri. Ya kebanyakan kepo yang lain sih ya.
Padahal bukankah kita juga mulai mengalami wacana-wacana sekulerisme tanpa sadar. Misalnya, membuat pemisahan urusan agama dan dunia, dalam pengertian ibadah. Sehingga muncul cara pandang bahwa orang yang secara kasat mata tampangnya sholeh (inipun berdasarkan anggapan-anggapan umum dikalangan umat awam juga) dianggap lebih sholeh dibandingkan yang nggak. Padahal, siapa yang bisa menjamin kebenaran anggapan semacam ini.
Jika kita diperintahkan untuk menjadikan seluruh hidup kita beribadah ya berarti istilah bekerja seharusnya merupakan sebuah ibadah. Proses kehidupan kita diatur oleh Allah sepenuhnya, ada bekerja yang ada SOP-nya plek jiplek ga boleh dikreativitasi sendiri, yang kita sebut sebagai ibadah mahdhah. Selebihnya untuk urusan bekerja, kita dikasih arahan umum secara prinsip, silahkan dikreativitasi sendiri. Proses pengajarannya ini pun sempurna, dikasih manual book (al Quran) dan tutorialnya (perkataan dan perbuatan Rasulullah secara langsung). Kurang nikmat apa jadi manusia? Tapi kok ya ada ya yang kurang piknik, ngepoin temannya melulu, lalu mencak-mencak, ihhh nggilani.
Nilai bekerja itu menjadi ibadah atau tidak, tergantung niat dan pola pikirnya. Jadi apa ya kita mau memastikan bahwa orang yang sholat itu pasti telah beribadah? Po kowe Gusti Allah. Sebagaimana orang yang belum mengikuti petunjuk dari Quran dan menjalankan apa yang diteladankan Nabi itu apa mereka pasti menentang, jika kita belum berinteraksi, belum mengidentifikasi, dan belum mengenal secara mendalam? Cukuplah dua hal itu menjadi panduan agar kita tidak sibuk jadi pencela tapi lebih sibuk berpikir bagaimana menghadirkan wajah Islam dengan lebih indah.
Dan bukankah kerepotan yang timbul di tengah umat Islam sekarang, kan salah satunya soal beginian. Ditambah kepentingan ekonomi yang menggelendoti. Tidak bisa dipungkiri, begitu orang ditokohkan dan memiliki pendukung banyak, disitu mesin ekonomi bergerak, tawar menawar politik bisa dilakukan. Jadi cermatlah melihat perseteruan yang muncul di zaman semacam ini agar tidak jadi kaum baper tulen. Maka saya sangat takzim kepada para tokoh yang mampu menjaga kredibilitasnya agar tidak dikapitalisasi oleh para pengambil keuntungan yang sejak awal otaknya memang begituan.
Mungkin ada yang terus menuduh aku sok suci dianggep ra butuh duit. Mbahmu, aku ngerti duit yo seneng to yo. Umpama iso duwe penghasilan 100jt ber bulan yo gelem-gelem wae. Ning kan setiap penerimaan itu harus diukur tingkat kelayakannya. Urip ki ya duwe pantes-pantese lah. Lagi pula dengan ayat yang sudah jelas kayak tadi, hidup itu bekerja, bekerja itu adalah laku dari ibadah itu sendiri. Bahwa dapat duit ya itu kan konsekuensi interaksi. Mosok wis nggawekke web ora dibayar (meskipun bisa terjadi demikian juga, sesekali). Mosok wis nuliske artikel ora dibayar. Mosok wis ngajar ora dibayar. Mosok wis ngisi training ra disangoni. Tapi jika itu yang jadi acuan, jadi tujuan, bahkan jadi core-bisnisnya, betapa sekulernya kita. Bahkan tak jarang simbol agama dibajak demi keuntungan dengan mendiskreditkan yang lain. Cari sendiri lah contohnya.
Negara dan masyarakat sekuler itu, dalam sisi tertentu mereka justru mengamalkan nilai-nilai Quran. Tapi umat Islam di negeri-negeri Islam menghancurkan peradabannya sendiri dengan mengcopasi ideologi dan hal-hal yang berbau materi dari negeri sekuler itu. Di saat Barat sedang mencari (dan sebagian mulai ketemu), Timur justru menghancurkan dirinya sendiri, yang bertahan malah dihina dan direndahkan sebagai orang yang ketinggalan jaman. Tidak perlu heran bahwa zaman memang telah serba terbalik.
Ucapan para pujangga Jawa tentang kerusakan zaman yang bakal terjadi bukanlah ramalan kosong, saya yakin mereka belajar dan menggali ilmu dan mengasah kedekatan mereka dengan sang Pencipta. Bahkan jangka Jayabaya yang didalamnya mencatut nama seorang ulama Syeh Ngali Samsujen dari negeri Ruum menandakan bahwa puncak keemasan sastra Jawa tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai Islam yang sudah menyebar ke seluruh dunia sejak beberapa abad sebelumnya.
Agama ki ageman, dudu gada nggo gebuk-gebukan.
Juwiring, 24 Desember 2015