Jadi begini, kan sudah berapa puluh tahun umat Islam seluruh dunia itu berhaji di dua tanah suci (bahasa arabnya Haramain).

Pertanyaannya, apa selama itu umat Islam itu nggak bisa ngumpul-ngumpul untuk mbahas, “Bro, gimana nih kita kok tiap taun gini-gini doang. Kapan kita bersatu gitu, nggak udur terus dan bisa jadi super power lagi kayak zaman baheula.”

Tapi entah benar atau salah, imajinasiku itu ternyata terlalu khayali. Mengapa, karena memang penyedia layanan haji tidak memfasilitasi untuk kumpul-kumpul begituan, nggak profitabel. Haji itu ya ritual, habis itu belanja sepuasnya, lalu pulang ke tempat masing-masing.

Nah yang kita-kita di sini, yang masih mrongos karena ga punya duit buat ke sana, cuma ndlongop. Lalu setiap ada berita yang cuma kita lihat terpenggal-penggal di Yutub, TV dan media-media anu lainnya membuat kita saling duel. Duel mulut hingga duel komentar.

Padahal, problemnya jelas. Kok kita nggak bisa bersatu sih. Dan ternyata memang hingga hari ini problem itu tidak pernah diselesaikan juga di sini. Karena memang tidak profitabel. Bayangkan jika umat Islam tidak sibuk bangun masjid baru dan aneka menara megah. Berapa toko bangunan, berapa sektor bisnis yang akan tutup karena umat Islam hidupnya qanaah, sederhana, dan lebih banyak senyum dengan saudara-saudaranya. Bayangkan berapa sektor bisnis yang akan tutup akibat persatuan umat Islam karena sudah tidak terlalu ngiler dengan duit dan hal-hal yang tidak produktif.

Jadi sepertinya memang tidak ada hubungannya antara dalil yang lagi rame-rame dipertentangkan dengan berbagai konflik sektarian yang sering mengemuka saat ini. Ini soal profit, ini soal kekuasaan bisnis. Karena katanya hidup itu butuh duit. Katanya begitu kan.

Juwiring, 10 Desember 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.